Oleh: M.A. Rahman
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden bukan sekadar simbol negara atau pemimpin seremoni. Ia adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan ini bukan hak istimewa, melainkan tanggung jawab konstitusional untuk menegakkan hukum, keadilan, dan etika dalam penyelenggaraan negara.
Namun hari ini, rakyat menyaksikan dengan getir bahwa sejumlah pejabat yang memiliki rekam jejak kuat dalam kasus dugaan korupsi tetap dibiarkan menduduki posisi strategis dalam kabinet pemerintahan terpilih, tanpa tindakan tegas dari aparat penegak hukum—baik KPK, kepolisian, maupun kejaksaan. Di sinilah masalah fundamentalnya: pembiaran oleh Presiden terhadap lingkaran kekuasaan yang terkontaminasi adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
Tanggung Jawab Presiden menurut UUD 1945
Pasal 7B UUD 1945 membuka ruang pemakzulan jika Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, termasuk tindak pidana korupsi atau pengkhianatan terhadap negara. Namun, tidak hanya tindakan langsung yang dimaksud. Doktrin tanggung jawab presiden juga mencakup command responsibility—sebuah prinsip yang diakui dalam tata kelola modern di mana seorang pemimpin tertinggi bertanggung jawab atas tindakan bawahannya, terlebih bila ia mengetahui dan memilih untuk tidak bertindak.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.” Maka ketika pejabat publik dilindungi dari proses hukum hanya karena kekuasaan atau kedekatan dengan penguasa, itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan hukum.
Realitas: Pejabat Bermasalah dalam Pemerintahan
Beberapa nama dalam kabinet pemerintahan Prabowo Subianto—yang masih berada dalam tahap transisi kekuasaan—memiliki jejak yang patut didalami oleh aparat penegak hukum. Misalnya, ada yang pernah diperiksa KPK atau disebut dalam dakwaan kasus besar, namun justru mendapat promosi jabatan. Tidak ada satu pun pernyataan dari Presiden—baik Jokowi sebagai pemegang mandat hingga Oktober, maupun Prabowo sebagai presiden terpilih—yang menegaskan komitmen untuk evaluasi menyeluruh atau moratorium jabatan terhadap individu-individu ini.
Hal ini memperkuat persepsi publik bahwa kekuasaan digunakan bukan untuk membersihkan institusi, melainkan sebagai tameng untuk melanggengkan impunitas. Ketika lembaga seperti KPK terlihat melemah, kepolisian cenderung pasif, dan kejaksaan sibuk mengurus kasus-kasus kecil, kita patut bertanya: di mana tanggung jawab Presiden sebagai panglima tertinggi pemerintahan dan penjamin etika bernegara?
Pembiaran Adalah Persekongkolan
Dalam teori hukum tata negara modern, omission atau kelalaian dalam menindak pelanggaran hukum, terutama oleh pemimpin tertinggi, dapat digolongkan sebagai culpable negligence—kelalaian yang dapat dihukum karena berdampak sistemik. Jika Presiden tahu bahwa anak buahnya bermasalah namun memilih diam atau bahkan mengangkat mereka ke posisi strategis, maka ia tidak netral. Ia sedang mengambil sikap politik yang berisiko mencederai integritas negara.
Harapan: Presiden Harus Menjadi Penjaga, Bukan Pelindung Para Pelanggar
Rakyat Indonesia masih punya harapan, meski sudah berkali-kali dikecewakan. Harapan itu sederhana namun mendalam: agar pemimpin negeri ini tidak memelihara racun di dalam lingkar kekuasaannya. Agar Presiden—baik yang masih menjabat maupun yang akan dilantik—mau menempatkan integritas sebagai syarat mutlak jabatan publik.
Kami berharap, dalam masa transisi kekuasaan ini, Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto sama-sama menunjukkan sikap negarawan: dengan memberi contoh bahwa jabatan publik bukan tempat cuci dosa, melainkan ruang pengabdian yang bersih dan transparan.
Lebih dari itu, kami berharap aparat penegak hukum tidak menjadi alat politik, melainkan pelindung keadilan. Dan jika Presiden tak berani mengambil sikap terhadap para pejabat bermasalah, maka rakyatlah yang harus berani mengambil sikap terhadap Presiden itu sendiri.
Sebab dalam demokrasi, keheningan rakyat adalah pupuk bagi tirani.