Jakarta — Di tengah hiruk-pikuk demokrasi yang semakin bising oleh retorika kosong dan perebutan panggung kekuasaan, Anies Baswedan dan politik gagasan di era polarisasi berdiri dengan karakter khas tenang, terukur, dan penuh gagasan. Anies Rasyid Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, adalah sosok yang memadukan intelektualitas dengan kepemimpinan. Dalam politik Indonesia yang kerap pragmatis, kehadirannya menawarkan jalan lain: jalan perubahan berbasis nilai dan narasi.
Anies lahir di Kuningan, Jawa Barat, namun besar di Yogyakarta, kota yang membentuk karakter keilmuan dan keterbukaannya. Ia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada, kemudian melanjutkan studi master dan doktoral di luar negeri, termasuk di Universitas Maryland dan Northern Illinois University. Pendidikan adalah napas awal perjuangannya — dan masih menjadi titik pijak dalam banyak kebijakan yang ia usung.
Ketika ia memulai gerakan Indonesia Mengajar pada tahun 2010, banyak pihak melihatnya sebagai aktivis sosial berbasis intelektual. Namun langkah itu bukan akhir, melainkan awal dari babak baru. Ia menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet Jokowi, namun hanya bertahan singkat karena reshuffle. Namun, di sinilah publik mulai mengenal gaya kepemimpinan Anies: berbasis visi, tidak tunduk pada tekanan arus, dan berani berbeda.
Anies bukan politisi yang banyak teriak. Ia lebih sering mendekatkan diri lewat diksi dan dialog. Saat menjabat Gubernur DKI Jakarta (2017–2022), ia mengusung konsep Jakarta Kota Kolaborasi — sebuah pendekatan yang menempatkan warga sebagai bagian aktif dalam pembangunan.
Di era kepemimpinannya, Jakarta mengalami banyak transformasi. Trotoar-trotoar diperlebar, ruang publik diperindah, transportasi publik diperkuat dan terintegrasi. Namun di balik fisik pembangunan itu, ada gagasan yang menjadi nyawa: keadilan ruang.
“Kita ingin agar keadilan tidak hanya menjadi wacana, tapi hadir dalam bentuk nyata — dalam akses, pelayanan, dan ruang hidup warga,” ujarnya dalam satu kesempatan.
Anies juga membawa semangat kolaborasi ke level kebijakan. Ia mendorong pelibatan komunitas dalam perencanaan kota, mengangkat isu lingkungan dan inklusi sosial sebagai bagian dari agenda pembangunan. Ia menyebut Jakarta bukan sekadar ibu kota administratif, tapi contoh bagaimana kota bisa membangun peradaban.
Sebagai tokoh nasional, Anies adalah figur yang paling mudah dipuja sekaligus paling gampang diserang. Polarisasi yang mengiringi perjalanan politiknya bukan karena kontroversi, tapi karena ide. Ia berbicara dengan kerangka berpikir yang tak semua orang siap mencerna. Dalam debat publik, ia jarang terpancing emosi — memilih menjawab dengan data atau filosofi.
Ini membuatnya berbeda. Dan perbedaan itu adalah risiko yang ia tanggung dengan sadar. Tak heran jika dalam survei nasional, Anies konsisten bertengger di posisi tiga besar tokoh dengan elektabilitas tinggi, sekaligus memiliki tingkat resistensi yang signifikan.
Namun, seperti yang ia sampaikan di berbagai forum, “menjadi pemimpin bukan soal siapa paling disukai, tapi siapa paling bisa dipercaya.”
Anies memiliki basis pendukung kuat di kalangan pemuda, profesional, dan komunitas-komunitas literasi. Bukan karena janji-janji kosong, tapi karena mereka merasa mewakili nilai. Dalam setiap forum, ia mengajak publik berpikir, berdiskusi, dan berpartisipasi aktif. Ia tidak menawarkan jalan mudah, tetapi jalan bermartabat.
Banyak anak muda yang menjadikan Anies sebagai simbol bahwa politik tidak harus kotor. Bahwa menjadi pemimpin tidak harus meninggalkan idealisme. Di era media sosial yang sarat sensasi, kehadiran Anies ibarat oase: sunyi tapi berisi.
Saat ini, Anies belum menyatakan langkah politik barunya secara resmi. Namun manuver-manuvernya di berbagai forum publik dan kehadirannya dalam dialog kebangsaan menunjukkan ia belum akan berhenti. Ia tetap menjadi bagian dari percakapan tentang masa depan republik.
Bagi sebagian orang, Anies adalah tokoh masa lalu yang menjanjikan. Bagi yang lain, ia adalah harapan masa depan yang masih relevan. Tapi bagi banyak rakyat yang jenuh oleh politik transaksional, ia adalah pilihan yang lahir dari pikiran dan keyakinan.
Dan mungkin, dalam sunyi itulah ia sedang menyusun lagi jalan panjang menuju republik yang lebih adil, lebih terdidik, dan lebih beradab.
Rubrik: Feature Tokoh | BeritaIndonesia.news