Jakarta – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh sejumlah lembaga pemerhati anak atas kebijakan kontroversial yang mengarahkan siswa pelanggar tata tertib sekolah untuk menjalani masa pembinaan di barak militer. Kebijakan tersebut diklaim sebagai pendekatan disipliner yang bertujuan membentuk karakter dan kedisiplinan siswa, namun menuai respons keras dari berbagai kalangan.
Laporan ini dilayangkan oleh Amnesty International Indonesia, LBH Jakarta, dan Koalisi Pemantau Pendidikan Anak (KPPA). Mereka menilai program yang digagas Pemprov Jabar ini berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, serta Pasal 28C dan 28I UUD 1945 yang menjamin hak atas pendidikan dan perlakuan yang manusiawi.
“Meski bertujuan baik, pendekatan militeristik dalam pendidikan tidak sesuai dengan prinsip psikologi perkembangan anak. Pendidikan harus membina, bukan menakut-nakuti,” ujar Rachma Safira, juru bicara Amnesty International, dalam konferensi pers di Jakarta.
Kebijakan ini pertama kali mencuat ketika sejumlah video viral di media sosial memperlihatkan siswa sekolah menengah di Kabupaten Purwakarta menjalani pelatihan baris-berbaris dan push-up dalam lingkungan barak militer sebagai sanksi atas pelanggaran seperti membolos atau terlambat datang ke sekolah. Netizen dan aktivis HAM mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk penghukuman yang merendahkan martabat anak.
Menanggapi kontroversi ini, Gubernur Dedi Mulyadi menyampaikan bahwa program tersebut bukanlah hukuman, melainkan bentuk pembinaan karakter yang telah dikaji bersama akademisi dan psikolog pendidikan. “Barak itu bukan penjara. Kami sediakan lingkungan yang disiplin, bersih, dan membentuk karakter anak menjadi tangguh serta bertanggung jawab,” ujar Dedi dalam wawancara eksklusif dengan TVRI.
Ia menambahkan bahwa program tersebut bersifat sukarela dan hanya diberlakukan bagi siswa yang telah melalui proses mediasi dan persetujuan orang tua. “Justru banyak orang tua yang mendukung. Mereka lelah dengan perilaku anak yang sulit diarahkan di rumah dan sekolah,” tambahnya.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Heryani Rohmat, menyatakan bahwa hingga saat ini sudah ada lebih dari 700 siswa dari 12 kabupaten/kota yang mengikuti program barak tersebut. Evaluasi internal menunjukkan penurunan angka pelanggaran disiplin di sekolah asal para siswa yang telah mengikuti program.
Namun, kritik datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan bahwa pelibatan anak dalam aktivitas semi-militer tanpa pendekatan psikologis yang memadai bisa berdampak buruk terhadap perkembangan emosional dan kognitif mereka. “Kita tidak boleh mengganti pendekatan pedagogis dengan pendekatan koersif. Ini bisa menimbulkan trauma dan rasa rendah diri,” tegas Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah.
Pengamat hukum pendidikan dari Universitas Padjadjaran, Dr. Ahmad Rifa’i, menambahkan bahwa kebijakan ini berpotensi maladministrasi jika tidak didukung dasar hukum yang kuat. “Setiap bentuk sanksi dalam lingkungan pendidikan harus proporsional, edukatif, dan mengacu pada prinsip non-diskriminatif. Jika tidak, bisa berujung pada pelanggaran hak asasi,” ujarnya.
Di sisi masyarakat, opini terbelah. Sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh agama menyatakan dukungan terhadap pendekatan keras yang dianggap mampu menyelamatkan anak-anak dari pergaulan bebas, narkoba, dan tawuran. Ustaz Deden Mulyana dari Majelis Taklim Nurul Falah di Bekasi menyatakan, “Kalau bukan barak, mau dibina di mana anak-anak yang sudah terlanjur liar? Orang tua pun banyak yang menyerah.”
Sebaliknya, organisasi guru seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengusulkan pendekatan berbasis bimbingan konseling, pembinaan karakter di sekolah, dan pelibatan orang tua dalam proses pendidikan anak. Ketua Umum PGRI Jawa Barat, Sri Astuti, menyarankan program remedial karakter yang dijalankan dalam lingkungan sekolah melalui pelatihan kepemimpinan, kerja kelompok, dan pendidikan nilai.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta secara resmi meminta Komnas HAM untuk melakukan investigasi terhadap program barak dan menyarankan pemerintah menghentikan sementara seluruh kegiatan pembinaan di barak hingga evaluasi independen selesai dilakukan.
Pemprov Jabar mengklaim terbuka terhadap kritik dan akan menggelar forum terbuka dengan menghadirkan psikolog anak, aktivis HAM, kepala sekolah, dan siswa peserta program. “Kami akan terbuka terhadap masukan. Tujuan kami murni untuk menyelamatkan generasi muda,” ujar Dedi dalam pernyataan tertulis.
Dari sisi hukum, Bareskrim Polri telah menerima laporan dari koalisi lembaga dan saat ini sedang dalam tahap klarifikasi terhadap pelapor. Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Rusdi Hartono, menyatakan bahwa pihaknya akan memanggil sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangan termasuk perwakilan dari Pemprov Jabar.
Pakar hukum pidana anak dari UI, Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, menyarankan agar pendekatan pembinaan anak tidak menyimpang dari prinsip-prinsip restorative justice. “Anak yang melakukan pelanggaran bukan pelaku kriminal. Negara wajib mendidik, bukan menghukum. Restorative justice harus jadi paradigma utama,” tegasnya.
Hingga saat ini, belum ada indikasi bahwa Dedi Mulyadi akan menghentikan program tersebut. Ia justru mengumumkan bahwa pemerintah akan menambah jumlah barak binaan di daerah-daerah dengan tingkat pelanggaran siswa tinggi, seperti Bogor dan Tasikmalaya.
Kasus ini menjadi ujian penting bagi Indonesia dalam menyeimbangkan antara pendekatan ketertiban dan penghormatan hak asasi anak dalam dunia pendidikan. Debat ini pun semakin mempertegas perlunya payung hukum dan standar nasional dalam penegakan disiplin di lingkungan pendidikan yang berlandaskan etika dan hak anak.