Semarang – Ketua DPRD Jawa Tengah, Sumanto, menyoroti keterbatasan perluasan lahan pertanian di provinsi tersebut yang dinilai dapat mengancam ketahanan pangan jika tidak segera ditangani secara serius. Dalam kunjungan kerjanya ke Kabupaten Kendal, Sumanto menegaskan bahwa banyak lahan tidur dan lahan potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah daerah maupun masyarakat.
“Target swasembada pangan nasional tidak akan pernah tercapai jika petani tidak memiliki akses terhadap lahan produktif. Pemerintah harus berani mengambil langkah untuk mengaktifkan kembali lahan-lahan tidur, termasuk menyelesaikan masalah konflik agraria yang masih membelit,” ujarnya.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, sejak tahun 2015 hingga 2024, terjadi penurunan luas lahan sawah produktif sebesar 8%. Konversi lahan menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur menjadi salah satu penyebab utamanya. Di Kabupaten Kendal saja, luas sawah menurun dari 24.000 hektare menjadi hanya sekitar 20.500 hektare dalam kurun lima tahun terakhir.
Sumanto mendesak agar pemerintah provinsi menjalin kerja sama lintas sektor dengan TNI Angkatan Darat, khususnya melalui program cetak sawah baru yang pernah sukses dijalankan di wilayah perbatasan Kalimantan dan Papua. Selain itu, peran perguruan tinggi pertanian seperti Universitas Jenderal Soedirman dan Universitas Diponegoro dianggap vital dalam menyediakan riset dan pendampingan teknologi pertanian.
“Sinergi itu bukan sekadar wacana. Harus ada langkah konkret di lapangan yang melibatkan petani sebagai subjek utama. Kita tidak bisa berharap pada program sentralistik tanpa respons lokal yang kuat,” tambahnya.
Kementerian Pertanian melalui Dirjen PSP (Prasarana dan Sarana Pertanian), Bambang Haryono, menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan pemetaan ulang lahan-lahan potensial yang belum digarap. Proses inventarisasi tersebut ditargetkan selesai pada kuartal ketiga 2025 dan akan menjadi dasar bagi program intensifikasi dan ekstensifikasi nasional.
“Jateng adalah tulang punggung produksi beras nasional. Kita akan prioritaskan daerah-daerah seperti Kendal, Grobogan, Blora, dan Purwodadi dalam tahap awal perluasan lahan,” ujar Bambang saat ditemui di Jakarta.
Dalam praktiknya, pengaktifan kembali lahan tidur menemui banyak tantangan. Beberapa di antaranya adalah status kepemilikan lahan yang tidak jelas, tumpang tindih izin, hingga minimnya infrastruktur pendukung seperti irigasi dan akses jalan tani. Selain itu, regenerasi petani yang rendah turut menjadi hambatan besar.
Pengamat pertanian dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Mulyadi Hadi, menyatakan bahwa permasalahan struktural seperti alih fungsi lahan harus ditangani dengan regulasi ketat. Ia menyarankan agar pemerintah daerah menerapkan sistem zonasi pertanian permanen yang diikat dengan Perda.
“Alih fungsi lahan harus dikendalikan dengan insentif dan disinsentif. Petani atau pemilik lahan yang mempertahankan sawah harus mendapat kompensasi fiskal seperti pengurangan PBB atau akses pembiayaan yang lebih mudah,” ujar Prof. Mulyadi.
Salah satu contoh nyata adalah keberhasilan Desa Ngabean di Kabupaten Grobogan yang mampu mengaktifkan kembali 150 hektare sawah tidur melalui program padat karya dan dana desa. Kepala Desa Ngabean, Kuswanto, mengatakan bahwa kerja sama dengan mahasiswa KKN pertanian sangat membantu dalam merancang irigasi dan pola tanam.
Di sisi lain, tantangan perubahan iklim seperti kekeringan dan banjir juga berdampak signifikan terhadap daya produktivitas lahan. Kepala BMKG Wilayah II Semarang, Daryono, memperingatkan bahwa tahun ini diperkirakan akan terjadi anomali iklim dengan curah hujan ekstrem yang tidak menentu.
“Kami sarankan pemerintah daerah memasukkan data iklim ke dalam perencanaan pertanian agar tidak terjadi kegagalan panen,” kata Daryono.
Program subsidi pupuk dan benih juga masih menjadi polemik. Petani di Kabupaten Blora mengeluhkan sulitnya akses terhadap pupuk subsidi dan rendahnya harga gabah. “Kami berharap lahan bertambah, tapi juga didukung dengan harga panen yang wajar,” ujar Sukimin, seorang petani muda di Blora.
Sebagai solusi jangka menengah, Sumanto mengusulkan pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pertanian yang bisa mengelola sistem logistik dan pembiayaan secara fleksibel. BLUD ini akan menjadi perantara antara petani, pasar, dan lembaga pembiayaan seperti BPR dan koperasi tani.
“Kita perlu infrastruktur kelembagaan yang solid di tingkat tapak, bukan hanya program dari atas. Jika tidak, lahan yang diperluas tidak akan optimal penggunaannya,” tegas Sumanto.
Dengan latar belakang tantangan global berupa krisis pangan, konflik geopolitik, dan perubahan iklim, isu perluasan sawah di Jawa Tengah menjadi perhatian penting dalam strategi ketahanan pangan nasional. DPRD Jawa Tengah berkomitmen untuk mengawal setiap kebijakan dan anggaran yang berpihak pada petani dan keberlanjutan produksi pangan.
Dalam waktu dekat, Komisi B DPRD Jateng akan mengadakan forum konsultasi publik lintas sektor guna merumuskan langkah strategis percepatan pencetakan lahan baru. Hasil forum ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam RAPBD 2026 serta dokumen perencanaan jangka menengah provinsi.
“Ketahanan pangan dimulai dari petani yang punya lahan dan dilengkapi sarana memadai. Kita tidak bisa hanya mengandalkan importasi jika ingin berdaulat,” pungkas Sumanto.