Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan nasional setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menegaskan urgensi pembahasan dan pengesahan aturan tersebut. RUU ini dinilai vital dalam upaya negara memerangi tindak pidana korupsi dan kejahatan terorganisir yang selama ini sulit ditindak secara tuntas.
Dorongan dari DPR dan PPATK
Dalam pernyataan resminya, Ketua Komisi III DPR RI menyebut RUU ini sebagai instrumen “wajib hadir” untuk menyelamatkan keuangan negara dari kebocoran akibat kejahatan finansial. “Kami dorong agar pemerintah segera mengirimkan Surpres (Surat Presiden) baru untuk mempercepat proses legislasinya,” ungkapnya.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana juga menekankan bahwa mekanisme penyitaan melalui pendekatan perdata (non-conviction based forfeiture) sangat dibutuhkan agar aset yang diduga berasal dari kejahatan bisa segera diamankan, bahkan sebelum pelaku divonis bersalah.
Kerugian Negara dan Hambatan Legislasi
Data menunjukkan, dari total kerugian negara akibat korupsi sebesar Rp48,8 triliun pada 2022, hanya sekitar 7,8% atau Rp3,8 triliun yang berhasil dipulihkan melalui proses pengadilan. Angka ini menunjukkan lemahnya efektivitas hukum positif dalam memulihkan aset negara.
Meski telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2024–2029, hingga kini RUU ini belum masuk daftar Prolegnas Prioritas 2025. Hal ini memunculkan kritik dari masyarakat sipil yang menilai DPR dan pemerintah kurang serius menangani kejahatan keuangan.
Isi Penting RUU: Aset Bisa Disita Tanpa Putusan Pidana
RUU Perampasan Aset mengatur penyitaan aset menggunakan pendekatan in rem, di mana fokus penyitaan diarahkan pada benda atau aset, bukan individu pelaku. Dengan sistem ini, aset yang dianggap berasal dari hasil kejahatan dapat disita meski pemiliknya belum dinyatakan bersalah di pengadilan.
RUU ini juga mencakup:
-
Aset hasil kejahatan dan sarana kejahatan,
-
Uang pengganti,
-
Aset milik pelaku yang telah meninggal atau melarikan diri,
-
Aset yang tak dapat dijelaskan asal usulnya (unexplained wealth).
Kekhawatiran Soal Penyalahgunaan
Namun, sejumlah pihak mengingatkan agar RUU ini tidak menjadi alat kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Akademisi dan praktisi hukum menyarankan agar mekanisme pembuktian terbalik dan subjek penyitaan diperjelas untuk mencegah pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Pemerintah Diminta Tegas dan Terbuka
Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti ICW dan Pukat UGM meminta pemerintah terbuka dalam menyampaikan substansi RUU serta melibatkan publik secara bermakna dalam pembahasannya. Komitmen politik Presiden Prabowo Subianto juga diharapkan menjadi pendorong utama agar legislasi ini segera disahkan dan tidak kembali mangkrak.