Medan – Sejumlah tokoh masyarakat Sumatera Utara mendatangi Markas Polda Sumut untuk melaporkan dugaan penghinaan terhadap Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, dan keluarganya. Laporan itu dipicu oleh konten media sosial, khususnya video di TikTok, yang dinilai mengandung unsur pelecehan terhadap istri Gubernur, Kahiyang Ayu, dan keluarga besar mantan Presiden Joko Widodo.
Ketika Kritik Berubah Menjadi Serangan Pribadi
Tokoh-tokoh yang melapor antara lain Dr. R.E. Nainggolan, Pdt. Vemderson Siahaan, dan Dr. S. Silitonga. Mereka mengecam ujaran seperti:
“Boleh aku pakai istrimu tiga bulan.”
“Gubernur Bobby itu boneka, cuma cari muka!”
Ungkapan-ungkapan tersebut dinilai bukan kritik kebijakan, melainkan serangan terhadap martabat pribadi dan keluarga Gubernur. Mereka mendesak Polda Sumut agar memproses pelaku sesuai hukum yang berlaku.
Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi membenarkan bahwa pihaknya telah menerima dua laporan:
-
Dari Relawan Parhobas (13 Juni 2025)
-
Dari Tokoh Masyarakat Sumut (17 Juni 2025)
Polda menyatakan sedang memproses laporan tersebut dengan membentuk tim penyidik khusus.
Delik Aduan atau Delik Biasa? Ini Penjelasan Hukumnya
Jika yang diserang adalah pribadi Bobby atau keluarganya
Masuk Pasal 310 atau 311 KUHP
Delik aduan absolut → hanya dapat diproses jika korban langsung melapor.
Jika yang diserang adalah jabatan Gubernur Bobby Nasution
Bisa masuk Pasal 218 KUHP Baru, delik aduan juga, tetapi ada pengecualian jika dilakukan secara terbuka (di muka umum atau medsos), disertai ajakan kekerasan atau penghasutan
Maka bisa naik menjadi delik biasa, dan aparat hukum boleh langsung memproses tanpa menunggu laporan pribadi.
Jika Dilakukan di Media Sosial, Apakah Bisa Langsung Dipidana?
Bisa, jika konten Mengandung ajakan provokatif, seperti:
“Lawan Gubernur sekarang! Serbu kantor gubernur!”
-
Mengarah ke hasutan kekerasan atau permusuhan terhadap institusi, maka bisa dijerat dengan pasal 240 KUHP Baru (penghasutan melawan penguasa), pasal 28 ayat (2) UU ITE (menyebarkan kebencian dan kekerasan) ini adalah delik biasa, aparat bisa bertindak langsung.
Gubernur Bukan Simbol Negara
Beberapa tokoh publik keliru menyebut Gubernur sebagai “simbol negara di daerah.” Padahal menurut Undang Undang Dasar sesuai dengan pasal Pasal 35–36B UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2009, simbol negara yang sah hanya Bendera Merah Putih, Lambang Garuda, Lagu Indonesia Raya, Bahasa Indonesia
Gubernur adalah pejabat publik administratif, bukan simbol negara. Maka penghinaan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan penghinaan terhadap simbol negara.
Hati-hati bedakan kritik dan penghinaan, Prof. T.P. Simanjuntak (Guru Besar Hukum Pidana USU) menjelaskan:
“Kalau ada kalimat ‘Bobby pembohong’ di medsos, itu masuk delik aduan pribadi. Tapi kalau ‘Gubernur Bobby pembohong’ disertai ajakan kekerasan, bisa jadi delik biasa dan diproses langsung oleh aparat.”
Klasifikasi Ujaran
Kalimat | Pasal | Delik | Bisa Diproses Tanpa Laporan? |
---|---|---|---|
“Bobby pembohong!” | Pasal 310 KUHP | Delik Aduan | ❌ Tidak bisa |
“Gubernur Bobby pembohong!” (dalam demo) | Pasal 218 KUHP | Delik Aduan | ❌ Tidak bisa |
“Lawan Gubernur, rakyat harus serbu sekarang!” | Pasal 240 KUHP / UU ITE | Delik Biasa | ✅ Bisa langsung |
“Gubernur hanya boneka, bakar kantornya!” | Pasal 28 ayat (2) UU ITE | Delik Biasa | ✅ Bisa langsung |
Laporan tokoh masyarakat Sumut atas penghinaan terhadap keluarga Gubernur menjadi ujian penting atas penegakan hukum digital. Di tengah era keterbukaan informasi, publik tetap harus memahami bahwa kebebasan berekspresi ada batasnya, terutama jika menyangkut kehormatan pribadi dan stabilitas pemerintahan.
Editor: BI News
Penulis: Tim Redaksi
Sumber: Polda Sumut, KUHP Baru, UU ITE, UUD 1945, Kompas TV, Detik