Jakarta | Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto merencanakan penarikan utang baru sebesar Rp 781,87 triliun pada tahun anggaran 2026. Angka ini tercantum dalam Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2026 dan menjadi yang tertinggi sejak masa pandemi Covid-19 tahun 2021.
Komposisi Sumber Utang
Sebagian besar kebutuhan pembiayaan utang akan ditutup melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/Sukuk) senilai Rp 749,2 triliun.
Sementara itu, Rp 32,7 triliun lainnya berasal dari pinjaman dalam dan luar negeri. Jumlah pinjaman tersebut menunjukkan penurunan signifikan, sekitar 74,9% dibanding outlook tahun 2025.
Tujuan dan Prinsip Pengelolaan
Pemerintah menjelaskan bahwa instrumen pinjaman ini diarahkan untuk mendukung proyek-proyek prioritas nasional, meski belum merinci sektor atau program yang akan didanai.
Dalam pengelolaan utang, pemerintah menekankan tiga prinsip utama:
Akseleratif – berfungsi sebagai katalis percepatan pembangunan.
Efisien – dengan biaya serendah mungkin melalui diversifikasi instrumen dan pengembangan pasar keuangan.
Seimbang – menjaga portofolio utang yang optimal antara biaya dan risiko.
Selain itu, strategi pengelolaan utang ditegaskan akan dijalankan secara prudent, inovatif, dan sustainable. Pemerintah juga menempatkan penarikan utang sebagai instrumen counter-cyclical dan katalis untuk memperkuat transformasi ekonomi yang inklusif sekaligus memperdalam pasar keuangan domestik.
Dampak Terhadap Defisit dan Rasio Utang
Dalam RAPBN 2026, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 2,48% dari PDB, turun dibanding target defisit 2025 sebesar 2,78%. Namun, sejumlah analis meragukan capaian ini dan memperkirakan realisasi defisit bisa mendekati 2,9%, terutama karena beban belanja sosial yang tinggi dan belum adanya kebijakan pajak baru.
Dari sisi rasio utang, pemerintah memperkirakan utang terhadap PDB pada 2026 berada di kisaran 38,5%, kemudian sedikit menurun menjadi 38,1% di 2027. Lembaga riset AMRO memproyeksikan rasio ini bisa meningkat hingga 42% pada 2029. Meski masih jauh di bawah batas maksimal 60% dari PDB sebagaimana diatur undang-undang, tren kenaikan rasio utang ini tetap menjadi perhatian dalam jangka menengah.
Keberlanjutan Fiskal
Dengan defisit di bawah 3% dan rasio utang sekitar 38% dari PDB, ruang fiskal Indonesia masih relatif aman. Namun, risiko tetap ada jika realisasi defisit melampaui target atau jika beban bunga utang semakin besar. Kenaikan utang yang terlalu cepat dikhawatirkan bisa menekan pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi peringkat kredit Indonesia di mata investor internasional.
Tren Pembiayaan Utang 2021–2026
Data RAPBN mencatat tren pembiayaan utang dalam lima tahun terakhir:
Tahun | Pembiayaan Utang (Rp triliun) |
---|---|
2021 | 870,5 (puncak pandemi) |
2022 | 696,0 |
2023 | 404,0 |
2024 | 558,1 |
2025* | 715,5 (outlook) |
2026 | 781,9 (rencana) |
(*outlook)
Dari data tersebut terlihat tren pembiayaan utang kembali meningkat, dengan rencana 2026 berada di atas proyeksi tahun 2025 maupun realisasi tahun-tahun sebelumnya.
Catatan Akhir
Meski besarnya angka utang menimbulkan perdebatan, pemerintah menegaskan kebijakan fiskal 2026 tetap diarahkan untuk memperkuat fondasi pembangunan nasional. Namun, publik menanti kejelasan lebih lanjut mengenai proyek-proyek prioritas yang akan dibiayai, serta bagaimana pemerintah menjaga agar defisit, utang terhadap PDB, dan keberlanjutan fiskal tetap terkendali dalam jangka panjang.