Jakarta, 24 Agustus 2025 – Rencana pemerintah Indonesia u
ntuk menarik utang baru pada 2026 menuai perhatian para pengamat ekonomi. Meski langkah tersebut dinilai penting untuk menjaga pembiayaan pembangunan, sejumlah analis menilai kebijakan ini berpotensi menambah beban fiskal di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Utang Negara dan Kondisi Global
Menurut data Kementerian Keuangan, rasio utang Indonesia per Juni 2025 tercatat sekitar 38,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini masih di bawah batas aman 60% sesuai UU Keuangan Negara. Namun, tren global menunjukkan kekhawatiran. Total utang dunia saat ini mencapai lebih dari USD 315 triliun (setara 335% dari PDB global), berdasarkan laporan Institute of International Finance (IIF).
Kenaikan utang global dipicu oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi, kebijakan moneter longgar, serta kebutuhan pembiayaan infrastruktur dan transisi energi. Kondisi ini memperbesar risiko krisis utang, terutama di negara berkembang.
Ekonom menilai, penarikan utang baru akan menghadapi tantangan besar akibat tren suku bunga tinggi di Amerika Serikat dan Eropa. Bank Sentral AS (The Fed) masih menahan suku bunga acuan di level tertinggi dalam dua dekade, guna menekan inflasi. Dampaknya, biaya pinjaman global naik dan investor cenderung menarik modal dari negara berkembang.
“Jika Indonesia menarik utang dalam denominasi dolar, risiko nilai tukar rupiah akan semakin besar. Apalagi volatilitas pasar global masih tinggi akibat ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi Tiongkok,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, dalam keterangan kepada media, Minggu (24/8).
Besarnya pembayaran bunga utang juga menjadi perhatian. Data APBN 2025 menunjukkan, alokasi pembayaran bunga mencapai lebih dari Rp 500 triliun, atau sekitar 20% belanja negara. Dengan penambahan utang baru, ruang fiskal untuk sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur berpotensi semakin tertekan.
“Utang itu bukan hanya angka, tapi komitmen jangka panjang. Jika tidak dikelola hati-hati, generasi mendatang akan menanggung beban fiskal yang berat,” kata Enny Sri Hartati, ekonom senior.
Selain faktor bunga, harga energi dunia yang berfluktuasi juga berpotensi menekan APBN. Kenaikan harga minyak dan gas akan memperbesar subsidi energi, yang pada akhirnya mempersempit ruang fiskal pemerintah. Inflasi global yang masih tinggi juga bisa memicu lonjakan biaya impor dan melemahkan daya beli masyarakat.
Secara keseluruhan, rencana penarikan utang pemerintah pada 2026 bukanlah masalah selama digunakan untuk belanja produktif dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, konteks global yang dipenuhi risiko mulai dari lonjakan utang dunia, suku bunga tinggi, hingga ketidakpastian geopolitik menjadi faktor yang perlu diantisipasi serius.
“Utang bisa menjadi instrumen pertumbuhan, tetapi juga bom waktu jika hanya menambah beban bunga tanpa meningkatkan kapasitas ekonomi,” tulis laporan Bank Dunia terbaru mengenai outlook fiskal negara berkembang.