Medan,- Undangan Gubernur Sumut Bobby Nasution kepada lebih dari seratus pemred media di Medan bukanlah sekadar acara silaturahmi. Dalam politik, tidak ada pertemuan yang “hanya silaturahmi”—semuanya penuh perhitungan.
Mari kita jujur: momentum undangan ini muncul tepat setelah OTT KPK terhadap Topan Ginting, mantan Kadis PUPR Sumut. Sebuah badai besar yang bisa mencoreng wajah pemerintah provinsi. Lalu tiba-tiba, semua pemimpin redaksi dikumpulkan dalam satu ruangan. Kebetulan? Sulit dipercaya.
Bahaya Silaturahmi Politik
Silaturahmi adalah budaya luhur. Tapi dalam politik, ia bisa berubah wajah menjadi senjata halus untuk membentuk opini. Dengan mempererat hubungan personal, pemimpin bisa “mencairkan” sikap kritis media. Hari ini undangan, besok pemberitaan bisa jadi lebih ramah.
Ini bukan sekadar pertemuan—ini operasi senyap pengendalian narasi.
Pertaruhan Independensi Media
Media adalah mata dan telinga publik. Begitu media mulai merasa “berutang budi” karena diperlakukan istimewa, garis independensi jadi kabur.
Apakah pemred yang hadir nanti bisa tetap tajam memberitakan kasus OTT?
Atau mereka akan lebih berhati-hati demi menjaga relasi dengan penguasa?
Jika jawabannya yang kedua, maka publik lah yang paling dirugikan.
Bobby dan Politik Citra
Sebagai menantu Presiden Jokowi, Bobby sudah terbiasa bermain di panggung besar. Ia tahu betul bahwa citra bisa menyelamatkan posisi, bahkan ketika badai kasus korupsi mengguncang lingkarannya. Maka, Silaturahmi Akbar ini tidak lain adalah panggung politik citra.
Pertanyaannya: apakah publik mau terbuai oleh panggung itu?
Waspada pada Kehangatan yang Terlalu Hangat
Tidak ada salahnya pejabat bersilaturahmi dengan media. Tapi ketika timing-nya persis di tengah badai OTT, publik patut curiga. Ini bukan sekadar temu kangen—ini bisa jadi manuver.
Media harus ingat, tugasnya bukan menjadi sahabat penguasa, melainkan pengawal kepentingan rakyat.