Jakarta, 22 Agustus 2025 — Indonesia Corruption Watch (ICW) resmi mengajukan permohonan informasi publik kepada Sekretariat Jenderal DPR RI dan DPD RI terkait rincian gaji, tunjangan, serta laporan pertanggungjawaban penggunaan dana reses dan kunjungan daerah pemilihan (dapil) periode tahun sidang 2024–2025.
Langkah ini dilakukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara oleh para legislator, di tengah sorotan publik atas kenaikan tunjangan dan fasilitas anggota dewan.
Permintaan Transparansi
ICW mendesak DPR dan DPD membuka sejumlah dokumen resmi, antara lain:
Regulasi dan besaran gaji anggota legislatif
Tunjangan, uang harian, uang representasi, dan uang pensiun
Dana kunjungan dapil, dana aspirasi, serta dana reses
Selain itu, ICW juga meminta laporan pertanggungjawaban (LPJ) penggunaan dana reses tahun sidang 2024–2025 dan LPJ penggunaan dana kunjungan dapil pada periode yang sama.
ICW menilai ada indikasi aliran dana besar yang tidak jelas penggunaannya, sehingga publik perlu mengetahui secara rinci mekanisme dan jumlah anggaran yang diterima anggota legislatif.
Rincian Gaji dan Tunjangan DPR–DPD
Berdasarkan regulasi yang berlaku, gaji pokok anggota DPR dan DPD masih mengacu pada PP No. 75 Tahun 2000 (DPR) dan PP No. 58 Tahun 2008 (DPD).
Gaji Pokok Per Bulan
Ketua DPR/DPD: Rp5.040.000
Wakil Ketua: Rp4.620.000
Anggota: Rp4.200.000
Tunjangan Melekat
Istri/suami: ±Rp420.000
Anak (maks. 2): ±Rp84.000 per anak
Jabatan: ±Rp9,7 juta
Uang sidang/paket: Rp2 juta
Beras: Rp30.090 per jiwa (maks. 4 jiwa)
PPh 21: ±Rp2,7 juta
Tunjangan Lain
Kehormatan: Rp5,58 juta
Komunikasi intensif: Rp15,55 juta
Peningkatan fungsi pengawasan & anggaran: Rp3,75 juta
Bantuan listrik & telepon: Rp7,7 juta
Asisten anggota: Rp2,25 juta
Uang Perjalanan Dinas
Uang harian: Rp4–5 juta per hari
Uang representasi: Rp3–4 juta per hari
Dengan berbagai komponen tersebut, take-home pay anggota DPR diperkirakan mencapai Rp50–54 juta per bulan, belum termasuk biaya perjalanan dinas.
Selain itu, DPR juga memutuskan memberikan tunjangan rumah sebesar ±Rp50 juta per bulan sebagai pengganti rumah dinas, kebijakan yang memicu kritik keras dari publik.
Kontroversi dan Kritik Publik
ICW menilai penerimaan legislator semakin membengkak dan berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran. Lembaga antikorupsi masyarakat ini bahkan memperkirakan potensi pemborosan bisa mencapai Rp1,74 triliun dalam lima tahun ke depan.
Dalam kunjungan ke Kompleks Parlemen Senayan, ICW juga mengaku sempat dihalangi ketika hendak menyerahkan dokumen permohonan dan memberikan keterangan pers di area publik DPR.
“Dokumen-dokumen ini harus dibuka demi akuntabilitas dan hak publik untuk tahu. DPR dan DPD tidak boleh menutup-nutupi rincian penerimaan mereka,” tegas peneliti ICW.
Tuntutan ICW
ICW meminta agar Sekretariat Jenderal DPR dan DPD segera memberikan jawaban resmi sesuai amanat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Jika tidak, ICW berencana menempuh jalur keberatan administratif hingga membawa kasus ini ke Komisi Informasi.
Publik pun menanti apakah DPR dan DPD bersedia membuka detail penerimaan serta laporan penggunaan dana reses yang selama ini menjadi sorotan.