Jakarta, 11 September 2025 — Kementerian Keuangan menegaskan bahwa dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun yang ditempatkan di perbankan tidak boleh digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Dana tersebut wajib disalurkan dalam bentuk kredit produktif guna mendorong pertumbuhan sektor riil.
Dirjen Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menyatakan penggunaan dana ini untuk pembelian SBN akan dianggap kontraproduktif. “Tujuan utama penempatan dana adalah mempercepat penyaluran likuiditas agar ekonomi riil bergerak. Jika digunakan membeli SBN, manfaatnya tidak langsung dirasakan masyarakat,” ujar Febrio.
Kebijakan ini meniru tata kelola Koperasi Merah Putih yang dinilai berhasil dalam mengoptimalkan pembiayaan produktif. Pemerintah berharap langkah ini dapat meningkatkan akses pembiayaan ke dunia usaha, khususnya UMKM, sekaligus memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.
Dana Rp 200 triliun tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang sebelumnya ditempatkan di Bank Indonesia. Dengan kebijakan baru ini, dana akan berpindah ke perbankan dengan syarat ketat agar tersalurkan ke sektor-sektor prioritas.
Analisis Dampak
Terhadap Perbankan
Bank akan memiliki tambahan likuiditas besar, namun dengan aturan ketat.
Mereka terdorong untuk lebih aktif menyalurkan kredit ke sektor produktif, bukan sekadar mencari keuntungan cepat dari instrumen keuangan.
Hal ini bisa meningkatkan fungsi intermediasi perbankan sehingga lebih sejalan dengan arah pembangunan ekonomi.
Terhadap UMKM
Akses permodalan bagi pelaku usaha kecil dan menengah berpotensi lebih terbuka.
Dengan tambahan likuiditas, bunga kredit bisa ditekan lebih rendah, sehingga UMKM lebih mudah mengembangkan usaha.
Bila tepat sasaran, kebijakan ini dapat menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat daya beli masyarakat.
Terhadap Ekonomi Nasional
Peralihan dana dari instrumen pasif ke sektor riil diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Tantangannya adalah pengawasan agar penyaluran kredit benar-benar produktif, bukan hanya konsumtif atau macet.
Kebijakan ini menunjukkan arah baru fiskal yang lebih proaktif, tidak hanya menjaga stabilitas keuangan negara tetapi juga memastikan manfaat langsung bagi masyarakat dan dunia usaha.





