Jakarta — Bank Indonesia (BI) membantah kabar yang menyebutkan lembaga tersebut telah menjual 11 ton cadangan emas pada Juli 2025. BI menegaskan bahwa data yang beredar di publik, terutama yang bersumber dari laporan International Monetary Fund (IMF) dan World Gold Council (WGC), bukan merupakan catatan transaksi penjualan fisik, melainkan hasil re-dissemination atau penyebaran ulang data yang dapat diinterpretasikan secara berbeda.
Dalam penjelasan resminya, BI menyebut cadangan emas nasional justru mengalami kenaikan nilai nominal. Berdasarkan laporan keuangan per Juli 2025, total cadangan emas BI meningkat dari 8,320 miliar dolar AS menjadi 8,348 miliar dolar AS. Artinya, secara nilai, tidak terjadi pengurangan aset emas seperti yang diberitakan sebagian media dan akun media sosial.
“Tidak ada penjualan emas oleh BI. Data yang dirujuk IMF dan WGC merupakan hasil pembaruan sistem pelaporan, bukan refleksi transaksi aktual,” ujar perwakilan BI dalam keterangan tertulis yang dirilis awal Oktober 2025.
Isu ini sempat menyita perhatian publik setelah sejumlah analis pasar menyoroti laporan WGC yang mencatat penurunan sekitar 11 ton emas dalam data kepemilikan Indonesia. Penurunan tersebut ditafsirkan sebagai indikasi pelepasan cadangan oleh BI, padahal sumber penurunan itu lebih disebabkan oleh perbedaan metode pencatatan antara institusi internasional dan bank sentral domestik.
Spekulasi Pasar dan Persepsi Publik
Secara umum, pelepasan cadangan emas oleh bank sentral biasanya dikaitkan dengan upaya stabilisasi nilai tukar atau kebutuhan likuiditas devisa. Namun, analisis pasar menunjukkan tidak ada tanda-tanda BI melakukan intervensi besar selama periode Juli 2025. Nilai tukar rupiah relatif stabil di kisaran Rp15.800 per dolar AS, sementara cadangan devisa nasional juga masih berada di atas 139 miliar dolar AS — level yang dianggap aman untuk pembiayaan impor dan pembayaran utang luar negeri.
Ekonom senior dari Institute for Economic Studies, Rahman Nurhadi, menilai spekulasi tersebut muncul karena timing publikasi data IMF dan WGC bertepatan dengan fluktuasi nilai tukar di pasar spot. “Kebetulan saja waktunya bersamaan, sehingga muncul persepsi BI menjual emas untuk menahan tekanan rupiah. Padahal tidak ada bukti transaksi semacam itu,” jelasnya.
Rahman menambahkan, BI lebih sering menggunakan instrumen lain untuk stabilisasi moneter, seperti swap valas, reverse repo, atau intervensi langsung di pasar valuta asing. Penjualan emas dalam jumlah besar justru berisiko menimbulkan persepsi negatif dari investor internasional karena dianggap sinyal tekanan likuiditas.
Cadangan Emas Sebagai Aset Strategis
Cadangan emas merupakan salah satu komponen penting dalam struktur cadangan devisa Indonesia. Selain berfungsi sebagai penopang stabilitas moneter, emas juga menjadi instrumen diversifikasi yang melindungi aset negara dari volatilitas nilai tukar dan inflasi global.
BI selama ini mempertahankan porsi emas sekitar 3–4 persen dari total cadangan devisa, sejalan dengan praktik umum di banyak bank sentral negara berkembang. Langkah tersebut dianggap proporsional karena Indonesia memiliki kebutuhan besar atas cadangan valas untuk pembiayaan impor dan stabilitas kurs.
Pengamat moneter dari Universitas Indonesia, Dwi Larasati, menjelaskan bahwa keputusan untuk menambah atau mengurangi cadangan emas biasanya dilakukan dengan sangat hati-hati. “Menjual 11 ton sekaligus bukan langkah kecil. Itu harus melalui pertimbangan makro yang matang, dan sejauh ini tidak ada indikasi BI menuju ke arah itu,” ujarnya.
Kesimpulan: Perbedaan Data, Bukan Penjualan
Dengan demikian, klaim bahwa BI telah melepas 11 ton emas tidak memiliki dasar faktual. Penurunan angka pada laporan IMF dan WGC lebih merefleksikan perbedaan cara pelaporan dan waktu pembaruan data, bukan transaksi fisik di pasar emas internasional.
BI menegaskan tetap berkomitmen menjaga stabilitas cadangan emas sebagai bagian dari strategi manajemen risiko ekonomi nasional. “Kami terus mengoptimalkan pengelolaan cadangan devisa, termasuk emas, untuk mendukung stabilitas moneter dan ketahanan ekonomi Indonesia,” tutup pernyataan resmi BI.





