Medan – Lonjakan inflasi di Sumatera Utara kini memunculkan perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan pusat.
Wali Kota Medan Rico Tri Putra Bayu Waas menilai inflasi di wilayahnya disebabkan oleh hambatan pasokan pangan dan tersendatnya distribusi beras SPHP dari Bulog. Namun, pernyataan itu secara tidak langsung dibantah oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa Sumatera Utara bukan wilayah dengan masalah distribusi.
Inflasi Sumut Tertinggi Secara Nasional
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2025, Sumatera Utara mencatat inflasi tahunan (year-on-year) sebesar 5,32 %, tertinggi dari seluruh provinsi di Indonesia.
Komoditas penyumbang terbesar adalah cabai merah, bawang merah, beras, dan daging ayam ras. Kota Medan sebagai pusat ekonomi provinsi turut berkontribusi signifikan, dengan inflasi bulanan Agustus 2025 mencapai 1,18 % dan tahunan 3,67 %.
Wali Kota Medan Rico Waas dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa pasokan pangan yang tersendat menjadi penyebab utama lonjakan harga.
Dalam kunjungan ke Pasar Sei Sikambing awal Oktober, ia menemukan beras SPHP tidak tersedia selama beberapa hari akibat keterlambatan pengiriman dari gudang Bulog.
“Kalau beras murah tidak tersedia, masyarakat terpaksa membeli beras premium yang harganya jauh lebih tinggi. Ini yang memicu inflasi di tingkat rumah tangga,” kata Rico seperti dikutip Harian SIB (6/10).
Sebagai solusi, Pemko Medan menggelar Gerakan Pangan Murah (GPM) di 21 kecamatan untuk menstabilkan harga dan menekan inflasi lokal. Pemerintah kota juga melibatkan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan PD Pasar Medan untuk mempercepat distribusi bahan pokok.
Mendagri: “Distribusi di Sumut Lancar, Jangan Pasrah pada Inflasi”
Namun dalam rapat koordinasi nasional pengendalian inflasi, Sekretaris Jenderal Kemendagri Tomsi Tohir menyampaikan pandangan berbeda. Ia menilai, tingginya inflasi di Sumatera Utara tidak bisa lagi disalahkan pada faktor distribusi, karena provinsi tersebut justru termasuk wilayah dengan infrastruktur logistik yang memadai.
“Papua Pegunungan itu daerah yang sulit medannya, tapi inflasinya bisa 3,55 %. Sementara provinsi yang distribusinya lancar, seperti Sumut, justru angkanya tinggi,” ujar Tomsi dalam rapat yang dikutip Detik.com dan Merdeka.com, Senin (6/10).
Ia menegaskan bahwa banyak kepala daerah di Sumut tampak “pasrah” dan hanya mengandalkan operasi pasar tanpa langkah struktural yang berkelanjutan. Tomsi meminta agar TPID daerah tidak hanya menunggu perintah pusat, melainkan proaktif mengawasi harga di lapangan dan memperkuat koordinasi antarinstansi.
Menurutnya, perbandingan antara Sumut dan Papua Pegunungan menunjukkan bahwa wilayah sulit bukan alasan utama inflasi tinggi, melainkan manajemen pasokan dan respon kebijakan daerah yang menentukan.
Konteks Dua Pandangan: Teknis vs Struktural
Perbedaan pernyataan antara Wali Kota Medan dan Kemendagri memperlihatkan dua sudut pandang yang saling bertolak belakang namun saling melengkapi.
Pemerintah kota menyoroti hambatan teknis di tingkat pasar, seperti tersendatnya pengiriman beras SPHP dan minimnya stok cabai dari daerah penghasil.
Sementara Kemendagri melihat masalahnya lebih struktural dan koordinatif, yakni lemahnya sistem pengawasan harga, kurangnya intervensi cepat, dan belum optimalnya sinergi antar-pemangku kepentingan.
Analis ekonomi lokal menilai, keduanya sama-sama menyentuh sisi penting pengendalian inflasi. Medan memang tidak tergolong daerah sulit distribusi, tetapi rantai pasok antar-kabupaten di Sumut masih rawan gangguan karena ketergantungan pada sentra produksi tertentu seperti Karo dan Deli Serdang.
Ketika hasil panen turun akibat cuaca ekstrem, efeknya cepat terasa di kota besar seperti Medan.
Kritik Terhadap Koordinasi Daerah
Mendagri dan Sekjen Kemendagri menekankan bahwa daerah harus memperkuat koordinasi dengan BPS, Bulog, dan pelaku pasar agar kebijakan pengendalian inflasi bisa berjalan berbasis data. Mereka menegur daerah-daerah dengan inflasi tinggi yang “tidak memiliki alasan objektif” selain lemahnya kontrol harga.
“Jangan hanya berharap keadaan membaik dengan sendirinya. Pemerintah daerah harus turun tangan,” kata Tomsi.
Sementara di tingkat kota, Rico Waas berjanji akan terus memantau harga di pasar dan memastikan pasokan beras SPHP stabil menjelang akhir tahun. Ia menyebut kerja sama dengan Bulog dan distributor lokal akan ditingkatkan agar tidak terjadi kekosongan stok seperti sebelumnya.
Kesimpulan
Kontradiksi antara pernyataan Wali Kota Medan dan Kemendagri menyoroti perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah dalam membaca akar inflasi.
Rico melihat masalahnya di lapangan: barang sulit masuk dan stok kosong.
Mendagri menilai masalahnya pada manajemen dan respon kebijakan.
Dua pendekatan ini menunjukkan bahwa pengendalian inflasi tak bisa lagi berhenti pada distribusi fisik, tetapi juga harus mencakup koordinasi kebijakan, pengawasan harga, serta efisiensi birokrasi daerah.
Selama keduanya belum sinkron, inflasi Sumatera Utara kemungkinan akan tetap menjadi yang tertinggi di Indonesia.





