Jakarta — Pemerintah Indonesia resmi menyiapkan langkah strategis menuju energi bersih dengan memperkenalkan program bahan bakar minyak (BBM) campuran etanol. Program ini disebut akan menjadi bagian dari kebijakan transisi energi nasional, yang bertujuan menekan emisi karbon, mengurangi impor minyak, dan memanfaatkan potensi sumber daya alam dalam negeri seperti tebu dan singkong.
Namun di balik manfaat lingkungan dan efisiensi energi yang dijanjikan, sejumlah pakar mengingatkan adanya sisi lain yang perlu diperhatikan — terutama potensi kerugian bagi konsumen akibat penguapan bahan bakar dan penurunan efisiensi energi per liter.
Langkah ini membuka perdebatan baru di kalangan akademisi, industri otomotif, hingga pengelola SPBU. Apakah etanol benar-benar akan menjadi penyelamat bumi, atau justru menimbulkan masalah baru di jalan raya?
Langkah Awal Pemerintah: Dari E3.5 ke Mandatori E10
Kebijakan ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk melakukan pencampuran etanol sebesar 3,5 persen ke dalam base fuel Pertamina — sebagai tahap awal sebelum menuju campuran E10 (10 persen etanol).
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menjelaskan, Presiden Joko Widodo telah memberikan lampu hijau terhadap rencana ini. Meski demikian, implementasi penuh belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Pemerintah ingin memastikan kesiapan infrastruktur, pasokan bahan baku, serta kesiapan industri etanol nasional terlebih dahulu.
“Program mandatori etanol ini sudah disetujui Presiden, tapi belum langsung dijalankan. Kita harus siapkan industri etanol dalam negeri dulu supaya tidak tergantung impor,” ujar Bahlil dikutip dari Media Indonesia (7/10/2025).
Pemerintah menilai tahap awal E3.5 akan menjadi uji coba penting — baik dari sisi teknis mesin, logistik distribusi, maupun respons masyarakat. Pertamina menyebut pengujian internal terhadap base fuel etanol 3,5 persen telah menunjukkan hasil yang aman dan stabil untuk kendaraan berbahan bakar bensin.
Dukungan dari Akademisi dan Pakar Energi
Pakar energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Tri Yuswidjajanto Zaenuri, menilai pencampuran etanol sebesar 3,5 persen tidak menurunkan kualitas BBM dan tidak mengganggu performa mesin kendaraan.
Menurutnya, penurunan kandungan energi akibat etanol hanya sekitar 1 persen, angka yang tidak signifikan bagi kendaraan konvensional.
“Kalau penurunan energinya hanya satu persen, itu tidak akan terasa oleh pengguna. Campuran 3,5 persen masih sangat aman dan justru meningkatkan angka oktan,” jelas Tri kepada DetikFinance.
Hal senada disampaikan oleh Dr. Ali Ahmudi, pengamat energi dari Universitas Indonesia. Ia menyebut, kebijakan pencampuran etanol sudah lama diterapkan di berbagai negara maju dengan tingkat campuran jauh lebih tinggi.
“Di Brasil dan Amerika Serikat, kadar etanol di BBM bisa mencapai 10 hingga 27 persen. Jadi kalau Indonesia baru mulai dengan 3,5 persen, itu langkah yang sangat konservatif dan aman,” ujarnya dikutip dari AntaraNews.
Ali menekankan bahwa keberhasilan kebijakan ini bukan pada kadar etanolnya, melainkan pada kesiapan rantai pasok dan industri bioetanol domestik. Jika bahan baku masih impor, maka tujuan mengurangi ketergantungan energi justru tidak tercapai.
Kelebihan Etanol: Ramah Lingkungan dan Naikkan Oktan
Secara teknis, etanol memiliki angka oktan yang lebih tinggi daripada bensin konvensional. Campuran etanol dengan bensin dapat menaikkan Research Octane Number (RON), membuat pembakaran di mesin menjadi lebih sempurna.
Hasilnya, emisi karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon tak terbakar (HC) menurun. Pemerintah mencatat, penerapan E10 bisa menekan emisi gas rumah kaca hingga 7 persen dari sektor transportasi.
Selain itu, karena etanol berasal dari bahan nabati seperti tebu dan singkong, energi yang dihasilkan tergolong lebih berkelanjutan dibanding bahan bakar fosil murni. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai target Net Zero Emission tahun 2060.
Dari sisi ekonomi makro, etanol juga bisa mengurangi impor bensin. Setiap penambahan 1 persen etanol dalam BBM diperkirakan dapat menghemat devisa hingga puluhan juta dolar AS per tahun.
Sisi Gelap Etanol: Penguapan dan Kerugian Konsumen
Namun di balik keunggulan lingkungan tersebut, terdapat efek teknis yang dapat berdampak pada konsumen — terutama soal penguapan (evaporasi) dan penurunan densitas energi.
Pakar otomotif Rifqi Dwi Septian dari Universitas Negeri Yogyakarta menjelaskan, etanol bersifat higroskopis (menyerap air dari udara) dan memiliki panas penguapan tinggi. Di iklim panas seperti Indonesia, hal ini bisa menyebabkan bahan bakar menguap lebih cepat sebelum sempat terbakar di mesin.
“Kalau kendaraan atau tangki penyimpanan terpapar panas lama, campuran bensin–etanol bisa mengalami penguapan dini. Dampaknya, volume bahan bakar berkurang sebelum digunakan,” ujarnya kepada Liputan6.com.
Dalam praktiknya, fenomena ini bisa menyebabkan konsumen kehilangan sebagian kecil volume bahan bakar yang mereka beli — terutama jika kendaraan diparkir lama di bawah sinar matahari atau tangki SPBU tidak tertutup rapat.
Studi internal Kementerian ESDM menunjukkan, kehilangan akibat penguapan dapat mencapai 0,2 hingga 0,5 persen per hari dari volume bahan bakar. Artinya, dari 10.000 liter BBM, sekitar 20–50 liter bisa hilang hanya karena menguap.
Efisiensi Energi: Konsumsi Sedikit Lebih Boros
Etanol mengandung energi sekitar 30 persen lebih rendah dibanding bensin. Artinya, setiap liter campuran E10 menghasilkan energi yang sedikit lebih kecil.
Secara sederhana, kendaraan bisa menempuh jarak yang sedikit lebih pendek dibanding memakai bensin murni.
Namun penurunan ini umumnya kecil — berkisar antara 1–3 persen tergantung jenis kendaraan dan sistem mesinnya. Kendaraan dengan sistem injeksi modern dan ECU adaptif dapat menyesuaikan rasio udara–bahan bakar untuk meminimalkan efek tersebut.
Risiko pada Sistem Bahan Bakar
Selain itu, kandungan etanol dapat mempengaruhi komponen bahan bakar berbahan karet atau plastik, seperti seal, o-ring, dan selang bahan bakar.
Etanol bisa menyebabkan material lama mengembang atau mengeras, yang berpotensi menimbulkan kebocoran dalam jangka panjang.
Karena itu, pakar menyarankan agar kendaraan lama (terutama produksi sebelum 2005) perlu diperiksa secara berkala bila kebijakan E10 mulai berlaku.
Mobil dan motor modern umumnya sudah kompatibel dengan kadar etanol hingga 10 persen, tetapi model lama mungkin memerlukan penggantian komponen tertentu agar aman.
Kesiapan SPBU dan Tantangan Infrastruktur
Bukan hanya kendaraan, sistem penyimpanan di SPBU juga harus beradaptasi. Karena etanol mudah menyerap air dan menguap, tangki penyimpanan perlu memiliki sistem ventilasi dan pendinginan yang baik.
Negara seperti Brasil dan Thailand mewajibkan sistem penyimpanan tertutup dan berpendingin untuk SPBU yang menjual bahan bakar campuran etanol. Indonesia kemungkinan akan mengikuti standar serupa agar kerugian akibat penguapan bisa ditekan.
Di sisi lain, sejumlah SPBU swasta seperti Shell dan BP-AKR sebelumnya sempat menyatakan keberatan terhadap rencana pembelian base fuel yang telah dicampur etanol. Mereka khawatir standar penyimpanan dan kontrol mutu menjadi lebih rumit.
Namun, menurut Prof. Tri Yuswidjajanto, kekhawatiran itu berlebihan.
“Negara lain sudah melakukannya bertahun-tahun. Kuncinya di pengawasan mutu dan sistem distribusi yang tertutup,” tegasnya.
Dua Sisi Etanol: Antara Manfaat dan Tantangan
| Aspek | Dampak Positif | Dampak Negatif |
|---|---|---|
| Lingkungan | Menurunkan emisi karbon, pembakaran lebih bersih | — |
| Kinerja Mesin | Meningkatkan oktan, pembakaran sempurna | Energi per liter sedikit lebih rendah |
| Ekonomi Nasional | Kurangi impor minyak, tingkatkan nilai komoditas lokal | Butuh investasi besar di pabrik etanol |
| Konsumen | Lebih aman terhadap risiko kebakaran | Potensi kehilangan bahan bakar karena penguapan |
| Distribusi | Dorong modernisasi sistem BBM | SPBU perlu investasi infrastruktur tertutup |
Kesimpulan: Langkah Maju yang Perlu Disertai Kesiapan
Kebijakan pencampuran etanol dalam BBM adalah langkah maju menuju kemandirian energi dan keberlanjutan lingkungan. Secara ilmiah, etanol memberikan banyak keuntungan: lebih bersih, lebih aman, dan berpotensi menekan emisi.
Namun, di lapangan, tantangan teknis dan ekonomi tidak bisa diabaikan.
Konsumen perlu diberi pemahaman soal penguapan, efisiensi energi, dan pentingnya perawatan sistem bahan bakar.
Sementara itu, pemerintah wajib memastikan rantai pasok bioetanol dalam negeri kuat, agar kebijakan ini tidak justru membuka ketergantungan baru terhadap impor bahan bakar nabati.
Jika semua unsur — teknologi, infrastruktur, dan edukasi publik — disiapkan dengan matang, maka etanol bisa menjadi tonggak penting dalam sejarah transisi energi Indonesia: bahan bakar yang bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga adil bagi semua pengguna jalan.





