Pendahuluan: Sebuah Klaim yang Mengundang Tanda Tanya
Jakarta – Pada peringatan Hari Gizi Nasional 2025, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana tampil percaya diri. Di depan publik, ia memamerkan pencapaian besar: pembangunan 10.681 unit Dapur Sehat Masyarakat Bergizi (MBG) di berbagai daerah di Indonesia — dan semua itu, katanya, tanpa menggunakan dana APBN.
Pernyataan itu sontak menuai tepuk tangan sekaligus kebingungan. Bagaimana mungkin ribuan dapur baru bisa berdiri, dengan fasilitas lengkap dan branding nasional, tanpa satu rupiah pun dari anggaran negara?
Bagi publik yang terbiasa dengan proyek pemerintah, klaim ini terdengar janggal. Di tengah kondisi fiskal yang ketat dan sorotan terhadap akuntabilitas belanja publik, munculnya ribuan unit “dapur sehat” tanpa transparansi sumber dana memunculkan banyak pertanyaan.
Siapa sebenarnya yang membangun dapur-dapur itu? Dari mana asal uangnya? Dan apa motif di balik proyek raksasa ini?
Jejak Pertama: Kalibata dan Bayang-Bayang Hutang
Petunjuk pertama muncul dari Jakarta Selatan. Di wilayah Kalibata, berdiri satu unit dapur MBG yang konon menjadi model percontohan. Namun di balik label “percontohan nasional”, dapur itu justru menyisakan sengketa keuangan.
Ira Mesra Destiawati, yang disebut sebagai mitra pelaksana dari Yayasan Media Berkat Nusantara (MBN), mengaku belum menerima pelunasan pembayaran proyek senilai hampir Rp975 juta. Ia menuduh pihak MBG memutus kontrak secara sepihak dan meninggalkan tanggungan.
Kasus Kalibata membuka tabir penting: pembangunan dapur ternyata dilakukan melalui jejaring mitra swasta dan yayasan, bukan oleh lembaga pemerintah langsung. Namun, pola kemitraan ini kabur — tidak ada kejelasan kontrak payung, mekanisme audit, atau tanggung jawab hukum yang pasti.
Yang lebih menarik, di lapangan, logo BGN dan pemerintah terpampang di seluruh peralatan dapur tersebut, memberi kesan kuat bahwa proyek ini resmi dari negara.
Jejak Kedua: Klaim 10.681 Unit — Tanpa APBN, Tapi Dengan Siapa?
Dalam wawancaranya dengan media nasional, Kepala BGN Dadan Hindayana menegaskan:
“Tidak ada dana APBN. Semua ini dibangun atas kerja sama dengan para mitra dan masyarakat.”
Namun, ketika ditelusuri lebih jauh, daftar mitra itu tidak pernah diumumkan secara resmi. BGN hanya menyebut bahwa “mitra” berasal dari sektor swasta, lembaga sosial, hingga asosiasi pengusaha.
Salah satu nama yang kemudian sering muncul adalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), yang mengklaim telah berkontribusi dalam pembangunan ratusan unit dapur dengan skema “CSR bersama”.
Kadin menyebut, beberapa perusahaan anggota telah menyalurkan dana sekitar Rp2 miliar per unit, namun tidak dijelaskan mekanisme penyetoran, pengawasan, atau pemilihan lokasi dapur tersebut.
Dengan angka itu, total nilai ekonomi proyek 10.681 unit dapur bisa menembus lebih dari Rp21 triliun — angka yang luar biasa besar untuk program yang disebut “tanpa APBN”.
Jejak Ketiga: BUMN di Balik Bayang-Bayang
Penelusuran berikutnya menyingkap pola lain yang mengindikasikan keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui jalur CSR.
Beberapa kasus yang terkonfirmasi antara lain:
PT Hutama Karya (Persero) — membangun dapur MBG di Jambi (Pasir Putih). Program disebut sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility dengan koordinasi langsung bersama BGN.
PT Krakatau Steel (Persero) — meresmikan dapur MBG berbahan baja modular di Cilegon.
Dalam siaran persnya, perusahaan itu menyebut program tersebut sebagai kontribusi industri baja untuk “ketahanan pangan nasional”.PT Pupuk Indonesia dan Pertamina Group juga disebut mendukung kegiatan penyuluhan gizi di sekitar unit MBG.
Dengan pola ini, proyek MBG tampak seperti hibrida antara proyek sosial, CSR, dan inisiatif pemerintah, namun tak ada transparansi kelembagaan. Tak ada laporan keuangan terbuka, tak ada audit publik, dan tak ada payung hukum APBN yang mengikat.
Jejak Keempat: Yayasan dan Jaringan Bayangan
Sejumlah lembaga berbasis yayasan turut disebut dalam ekosistem ini. Nama Yayasan Media Berkat Nusantara (MBN) dan beberapa lembaga afiliasinya kerap muncul dalam dokumen lapangan dan baliho proyek.
Di sisi lain, BGN tidak secara tegas mengonfirmasi atau membantah hubungan strukturalnya dengan yayasan-yayasan tersebut.
Namun, sejumlah pelaksana lapangan menyebut mereka menerima instruksi “melalui jaringan yayasan yang berafiliasi dengan BGN”. Pola ini menyerupai struktur outsourcing proyek sosial besar yang meminjam legitimasi lembaga negara — tanpa kejelasan legal formal.
Sumber internal yang ditemui di salah satu proyek di Tangerang bahkan menyebut:
“Kami disuruh pasang logo BGN dan MBG, tapi dana dari sponsor. Kami tidak tahu persis sponsor siapa, hanya ada tim pusat yang kirim peralatan dan instruksi.”
Keterangan ini menunjukkan indikasi penggunaan simbol negara oleh pihak non-negara, yang dalam konteks hukum bisa berpotensi pelanggaran administrasi publik — apalagi jika melibatkan pengumpulan dana masyarakat tanpa izin resmi.
Jejak Kelima: Pola Keuangan yang Tidak Terlacak
Salah satu aspek paling mencurigakan dari program MBG adalah arus uang yang tidak dapat ditelusuri secara publik.
Beberapa mitra lokal mengaku menerima dana melalui virtual account (VA), namun nama pengirim sering kali bukan dari rekening lembaga resmi pemerintah, melainkan pihak ketiga yang disebut “mitra pusat”.
Dalam kasus Kalibata, misalnya, dana yang diterima pelaksana proyek datang dari entitas berbentuk yayasan, bukan dari rekening atas nama BGN.
Hal ini menguatkan dugaan bahwa proyek “tanpa APBN” tersebut justru mengandalkan skema swasta semi-resmi, yang secara hukum berada di area abu-abu — tidak diaudit BPK, tapi tetap menggunakan atribut dan legitimasi lembaga negara.
Jejak Keenam: Reaksi Publik dan Keheningan BGN
Seiring munculnya kasus-kasus seperti di Kalibata, tuntutan transparansi terhadap BGN meningkat.
Beberapa media mulai mempertanyakan mekanisme pembiayaan dan keterlibatan lembaga negara dalam proyek non-APBN berskala besar.
Namun, hingga kini, BGN belum merilis daftar mitra resmi, belum mempublikasikan laporan realisasi pembangunan, dan belum menjelaskan bagaimana sistem akuntabilitasnya bekerja.
Publik pun bertanya-tanya:
Apakah proyek ini murni swadaya sosial, ataukah bentuk lain dari penggalangan dana tersembunyi?
Apakah ada potensi conflict of interest antara pejabat publik dan yayasan pelaksana?
Mengapa proyek yang mengusung nama “nasional” dan menggunakan simbol negara tidak diawasi secara resmi oleh Kementerian Keuangan maupun BPK?
Analisis: Pola yang Mengingatkan pada “Shadow State Project”
Dari seluruh data yang tersedia, pola MBG tampak mengikuti model “shadow state project” — proyek yang tampak seperti milik negara, namun sebenarnya dijalankan oleh jaringan non-pemerintah dengan meminjam legitimasi simbolik negara.
Model ini kerap muncul dalam konteks program sosial di negara berkembang: pemerintah menyediakan narasi besar (branding nasional), sementara operasional dan dana ditanggung oleh pihak ketiga (swasta, yayasan, atau relawan).
Masalah muncul ketika simbol negara digunakan untuk menghimpun dana tanpa transparansi, sehingga publik sulit membedakan antara program sosial dan peluang komersial terselubung.
Dalam kasus MBG, potensi masalah makin rumit karena:
Ada klaim pembangunan massal (10.681 unit) tanpa audit.
Ada tumpang tindih antara nama lembaga negara dan yayasan swasta.
Ada klaim CSR BUMN tanpa data agregat resmi.
Ada kasus hukum di lapangan (Kalibata) yang mengindikasikan potensi pelanggaran kontraktual.
Konklusi: Transparansi yang Diperlukan
Program dapur sehat sejatinya adalah inisiatif baik. Peningkatan gizi masyarakat adalah kebutuhan nasional. Namun, jika dijalankan tanpa akuntabilitas dan dengan skema yang tidak jelas asal-usul dananya, maka manfaat sosial bisa berubah menjadi kerugian moral dan politis.
Publik berhak tahu:
Siapa pendana utama proyek MBG?
Siapa kontraktor dan yayasan pelaksana?
Apa dasar hukum penggunaan nama “Badan Gizi Nasional” di luar proyek APBN?
Dan bagaimana mekanisme pengawasan terhadap 10.681 unit yang diklaim sudah berdiri?
Tanpa jawaban yang jelas, proyek dapur sehat justru berpotensi menjadi dapur gelap bagi praktek-praktek yang mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan privat.





