JAKARTA — Dalam podcast Terus Terang, Mahfud MD mengungkap sejumlah tuduhan serius terkait praktik ekonomi dan korupsi yang belum pernah diungkap ke publik sebelumnya. Pernyataan itu, yang disampaikan dengan nada datar tapi penuh muatan kritis, turut menyentil figur-figur lama di lingkar kekuasaan. Terutama dalam kaitannya dengan Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, dan figur senior Luhut Binsar Pandjaitan.
Berikut bagian penting dari transkrip pernyataan Mahfud MD:
“Langkah yang dilakukan oleh Pak Purbaya ini menurut saya bagus. Orang ini lalu menggebrak-gebrak dengan penuh percaya diri dan untuk orang awam meyakinkan. Saya akan bicara modus modus operandi kejahatan atau korupsi. Ini sekaligus pesan buat Menteri Keuangan yang baru ya.
Jadi begini, pola seperti ini ya saya mendapat informasi dari orang dalam selisih 3,5 ton emas. Ton lah. Bukan 3,5 gram, bukan 3,5 kilo, bukan setengah 3,5, tapi 3,5 ton emas. Baru dalam satu kasus, Pak. Ini kasus yang belum pernah terungkap berarti ya ke publik ya.”
Mahfud menyebut bahwa kasus itu sudah ditetapkan oleh satgas yang ia bentuk agar disidik:
“Kalau tidak ini harus diburu. Kami punya datanya. 189 triliun yang akan menekan dia seperti halnya menekan saya dulu itu adalah orang-orang besar juga. Ada yang dengan terang-terangan. Ada yang mau nyuap, ada yang mengancam juga. Saya ancam balik.”
Ia menyoroti bahwa beberapa pihak dengan kasus itu bahkan sudah menjadi anggota kabinet atau memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan:
“Mungkin ini akan berat karena Pak Purbaya itu akan menghadapi ini teman itu ada yang jadi menteri juga loh yang punya kasus itu… kabinet saya gak sebut menteri… Mendesak-desak saya itu ini harus dikeluarkan ini sudah putus pengadilan bukan korupsi. Memang bukan korupsi saya bilang. Tapi dia punya hutang perdata suruh datang ke sini orangnya.”
Dalam analisisnya, Mahfud memaparkan perbedaan nilai pencatatan antara bea cukai dan pajak sebagai cara manipulasi:
“Ada pencucian uang senilai 189 triliun dalam satu transaksi. Ketika masuk dari luar lewat Bea Cukai itu nilainya hanya sekian. Tapi ketika keluar dari kedirjenan pajak, nilai transaksinya jauh lebih tinggi — selisih 3,5 ton emas.”
Mahfud menyebut bahwa pola seperti ini kerap digunakan sebagai cara untuk menyembunyikan keuntungan negara:
“Anda bayangkan itu baru satu importasi emas… Kita menemukan angka 189 triliun dalam satu transaksi… ketika barang itu masuk lewat Bea Cukai nilainya rendah, tapi di pajak ditulis jauh lebih tinggi — sehingga ada selisih besar. Itu modusnya.”
Ia juga mengkritik bahwa selama ini banyak kasus besar tidak diteruskan penyidikannya:
“Sampai saat ini hak penyidikan kasus ini ada di PPNS, Dirjen Bea Cukai, dan Pajak. Apakah ini ditindaklanjuti atau tidak? Kalau tidak ini harus diburu.”
Selain itu, Mahfud juga menyebut kasus lama, yaitu kasus BLBI & utang negara kepada rakyat, dengan tuduhan bahwa pejabat lama dan jaringan kekuasaan telah dilindungi:
“Dulu Satgas BLBI saya bentuk. Banyak gaduhnya karena kita merampas, melelang jaminan-jaminan. Kita dapat 41 triliun. Tapi banyak orang besar menekan supaya itu dikeluarkan kembali. Banyak yang desak-desak saya itu ini harus dikeluarkan ini sudah putus pengadilan bukan korupsi.”
“Negara punya utang ke rakyat itu banyak sekali. Totalnya waktu itu 5,8 triliun. Tapi sudah belasan tahun rakyat menagih, belum juga dibayar.”
Di tengah pernyataannya, Mahfud juga secara tersirat menyebut keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan:
“Dia orangnya Luhut, tapi sekarang dia mau dengar juga. Dulu sering debat-debat dengan Luhut, sekarang biar saja dia jalan.”
Kutipan ini dinilai banyak pihak sebagai sindiran halus terhadap Luhut, bahwa figur senior yang dulu sangat dominan kini tidak bisa lagi menahan arus perubahan.
Interpretasi & Implikasi
Pernyataan Mahfud tersebut tidak hanya membuka tabir modus korupsi besar di sektor impor dan bea cukai. Namun juga berfungsi sebagai sinyal bahwa era “raja kekuasaan lama” sedang digoyang. Dengan menyebut nama-nama tokoh kabinet sebagai calon pihak berkepentingan, Mahfud membangun narasi bahwa reformasi nyata harus menyentuh institusi tertinggi.
Munculnya Presiden Prabowo Subianto yang dalam pidato HUT TNI menegaskan bahwa kepemimpinan tidak boleh didasarkan pada senioritas, melainkan pada prestasi dan pengabdian. Memperkuat gagasan bahwa pembaruan politik dan etika pemerintahan kini menjadi prioritas.
Pernyataan Mahfud membuka keberanian menyebut segalanya secara terbuka. Tidak lagi dengan ungkapan samar, tetapi dengan angka dan nama, suatu hal yang jarang terjadi di lingkar kekuasaan Indonesia.
Sumber : Podcast Terus Terang https://www.youtube.com/watch?v=zzmZiewIes8





