JAKARTA — Kasus keracunan massal yang menimpa ribuan siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak pertengahan 2025 memunculkan pertanyaan serius: apakah korban dan keluarganya dapat menuntut secara hukum penyelenggara program tersebut?
Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga September 2025, pemerintah mencatat 70 insiden keracunan dengan lebih dari 5.900 siswa terdampak, sementara BPOM melaporkan 55 kasus dengan 5.320 penderita.
Laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan mencatat angka yang lebih tinggi — mencapai 10.482 anak menjadi korban hingga awal Oktober 2025.
Dua insiden besar yang menjadi sorotan publik adalah kasus Sleman (DIY) dan Lebong (Bengkulu) pada Agustus 2025. Di Sleman, 127 siswa mengalami gejala mual, muntah, dan diare setelah mengonsumsi menu MBG. Sementara di Lebong, lebih dari 427 siswa mengalami gejala serupa dan sebagian dirujuk ke rumah sakit.
Hasil pemeriksaan laboratorium oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan bakteri E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus aureus pada sisa makanan dan muntahan korban. Temuan ini memperkuat dugaan adanya kelalaian dalam proses pengolahan dan distribusi makanan.
Penyebab dan Pola Umum Kasus
Laporan-laporan media dan analisis sejumlah lembaga menunjukkan penyebab utama keracunan MBG berasal dari:
Kontaminasi mikrobiologi, seperti E. coli, Staphylococcus, dan Bacillus cereus pada bahan makanan atau peralatan masak yang tidak steril.
Penyimpanan makanan melebihi waktu aman, lebih dari empat jam setelah dimasak.
Kurangnya pelatihan higienitas bagi petugas dapur dan penjamah makanan.
Minimnya pengawasan dan kontrol mutu dari instansi pelaksana, terutama di dapur-dapur MBG daerah.
Menurut pakar gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), proses memasak yang tidak sesuai Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan rantai distribusi yang panjang “meningkatkan risiko kontaminasi mikroba sebelum makanan sampai ke siswa.”
Dasar Hukum: Korban Berhak Menuntut
Dari sisi hukum, korban keracunan MBG berhak menuntut secara pidana maupun perdata — asalkan terdapat bukti kuat bahwa makanan dari program tersebut memang menjadi penyebab keracunan.
Beberapa undang-undang yang memberikan dasar hukum bagi korban adalah:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Pasal 86–90 menegaskan, setiap produsen pangan bertanggung jawab atas keamanan produk yang diedarkan. Jika makanan menyebabkan keracunan, konsumen berhak atas ganti rugi dan pelaku dapat dikenai pidana.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
Pasal 19 dan 23 menyebutkan pelaku usaha wajib memberi ganti rugi jika barang atau jasa menimbulkan kerugian. Gugatan bisa diajukan ke Pengadilan Negeri atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 359 dan 360 menyebut, siapa pun yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain sakit atau meninggal dapat dipidana hingga lima tahun penjara.
“Secara prinsip, korban punya hak hukum penuh. Namun proses pembuktian tidak mudah. Perlu hasil laboratorium, bukti medis, dan rantai tanggung jawab yang jelas antara penyedia makanan dan pihak pemerintah,” ujar Rina Sasmita, pakar hukum kesehatan Universitas Indonesia, dalam keterangannya.
Siapa yang Bisa Dituntut?
Tanggung jawab hukum tidak hanya berhenti pada dapur penyedia makanan. Berdasarkan hasil analisis hukum, beberapa pihak bisa dimintai pertanggungjawaban, tergantung hasil investigasi dan peran masing-masing.
| Pihak | Jenis Pertanggungjawaban | Keterangan |
|---|---|---|
| Vendor atau dapur MBG | Pidana & perdata | Jika lalai menjaga kebersihan, bahan basi, atau distribusi salah. |
| Pejabat penanggung jawab proyek (BGN, Dinas Pendidikan, Pemda) | Administratif atau pidana kelalaian | Bisa dijerat jika lalai mengawasi pelaksanaan program. |
| Sekolah penerima menu MBG | Administratif | Jika tidak melakukan pemeriksaan atau kontrol mutu makanan. |
| Pemerintah / BGN pusat | Tanggung jawab negara (state liability) | Dapat digugat secara perdata di PTUN atas dasar kelalaian pelayanan publik. |
Menurut sejumlah pengamat, rantai tanggung jawab yang panjang — mulai dari vendor lokal, kontraktor penyedia bahan, hingga BGN pusat — membuat proses hukum menjadi kompleks dan memerlukan pendampingan lembaga bantuan hukum.
Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh Korban
Pakar hukum merekomendasikan empat jalur yang dapat diambil korban atau orang tua siswa:
Jalur Perdata
Mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan atau BPSK atas kerugian materiil dan immateriil.Jalur Pidana
Melapor ke kepolisian dengan membawa bukti medis dan hasil laboratorium.Jalur Administratif
Melapor ke Ombudsman RI atau Inspektorat atas dugaan maladministrasi program pemerintah.Gugatan Kelompok (Class Action)
Jika jumlah korban banyak, langkah ini efektif untuk menuntut kompensasi dan perbaikan sistem.
Belum Ada Gugatan Resmi, Tapi Tekanan Publik Meningkat
Hingga kini belum ada gugatan hukum resmi yang masuk ke pengadilan terkait kasus MBG. Namun, sejumlah lembaga seperti JPPI dan LBH Konsumen tengah menyiapkan pendampingan hukum kolektif bagi korban di Sleman, Lebong, dan beberapa daerah Jawa Barat.
Sementara itu, Badan Gizi Nasional (BGN) berjanji memperketat pengawasan dapur MBG di seluruh Indonesia, termasuk kewajiban sertifikat laik higiene dan sanitasi bagi seluruh dapur penyedia.
BGN juga menyebut bahwa sebagian besar kasus “disebabkan kelalaian penyedia lokal, bukan sistem nasional”.
Kesimpulan
Secara hukum, korban keracunan MBG bisa menuntut haknya — baik melalui jalur pidana, perdata, maupun administratif — selama mampu membuktikan keterkaitan langsung antara makanan MBG dan dampak kesehatan.
Namun, tantangan terbesar terletak pada pembuktian dan rantai tanggung jawab yang kompleks.
“Kasus MBG ini ujian besar transparansi dan tanggung jawab pemerintah,” kata Rina Sasmita.
“Kalau tidak ditindak tegas, program bergizi bisa berubah jadi tragedi gizi.”





