Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi pemerintah dan dijalankan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) sejak awal digadang sebagai proyek sosial berorientasi kesejahteraan rakyat. Melalui pembangunan jaringan Dapur Sehat, BGN mengklaim dirinya menjadi katalis pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah: menciptakan lapangan kerja, menyerap produk lokal, dan memperkuat rantai pasok pangan.
Namun, penelusuran di lapangan justru memperlihatkan potret yang berbeda. Di balik slogan pemerataan dan gizi berkeadilan, tersimpan indikasi bahwa proyek-proyek BGN mulai terjebak dalam pola lama yang selama ini menghantui birokrasi: orientasi keuntungan di tingkat pucuk pimpinan lembaga dan jaringan di sekelilingnya.
Dapur Sehat: Program Rakyat, Dikerjakan Konglomerat
Beberapa kontraktor daerah mengaku tidak mampu bersaing dalam tender proyek Dapur Sehat. Alasannya klasik namun nyata: persyaratan administratif dibuat begitu tinggi sehingga hanya perusahaan nasional atau BUMN yang dapat memenuhi kriteria.
“Dari dokumen lelang saja sudah terlihat siapa yang bisa masuk dan siapa yang tidak,” ujar seorang pelaku usaha konstruksi di Jawa Tengah. Ia menyebut bahwa nilai jaminan proyek, sertifikasi pengalaman kerja bernilai ratusan miliar, hingga kelengkapan alat berat menjadi penyaring alami bagi kontraktor lokal.
Yang paling disorot adalah praktik permintaan setoran di muka. Sebelum proyek berjalan, ada kabar bahwa sejumlah oknum meminta “biaya awal” dengan dalih administrasi atau legalitas. Nilainya memang tak tercantum dalam dokumen resmi, namun cukup besar untuk membuat pengusaha kecil tak sanggup melangkah lebih jauh. Akibatnya, proyek rakyat justru menjadi ajang kompetisi modal besar, bukan kompetisi kemampuan.
Pola Pengondisian dari Pusat
Pola pengondisian proyek Dapur Sehat diyakini sudah terbentuk sejak awal perencanaan. Penentuan perusahaan pemenang tender kerap terpusat di level nasional. Sejumlah nama perusahaan besar disebut sudah “direkomendasikan” untuk mengerjakan paket-paket proyek di berbagai provinsi.
Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa pembangunan dapur bukan hasil kebutuhan daerah, melainkan penugasan terstruktur dari atas ke bawah. Di lapangan, kontraktor lokal hanya kebagian peran sebagai pelaksana kecil dengan margin keuntungan tipis, sedangkan nilai utama proyek kembali ke kelompok perusahaan besar di Jakarta.
Minim Transparansi, Rawan Penyimpangan
Sejumlah daerah pelaksana MBG mengaku sulit mengakses data kontrak dan laporan penggunaan anggaran Dapur Sehat. Tidak ada publikasi resmi terkait siapa pelaksana proyek, berapa nilai kontraknya, dan bagaimana proses pengadaannya.
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa BGN menjalankan sistem verifikasi yang tertutup. Istilah “verifikasi bajak laut” sempat muncul di kalangan aktivis antikorupsi untuk menggambarkan situasi di mana prosedur formal dijalankan hanya sebagai formalitas administratif, sementara keputusan riil terjadi di lingkaran dalam lembaga.
Minimnya keterbukaan publik membuat peluang penyimpangan makin besar. Mekanisme pengawasan internal yang seharusnya mencegah praktik curang justru sulit diakses, sementara lembaga eksternal seperti BPK atau KPK belum banyak bergerak karena status BGN masih tergolong lembaga baru.
Efek Ekonomi yang Tidak Merata
Janji BGN untuk menciptakan efek ekonomi berganda di masyarakat tampaknya belum sepenuhnya terwujud. Di banyak daerah, pembangunan Dapur Sehat justru tidak melibatkan pelaku usaha lokal. Pengadaan bahan pangan dilakukan oleh jaringan pemasok besar, bukan oleh koperasi petani atau peternak kecil sebagaimana dijanjikan.
Akibatnya, potensi pemerataan ekonomi yang menjadi tujuan awal program hilang di tengah jalan. Dana besar yang digelontorkan untuk membangun Dapur Sehat lebih banyak berputar di tangan kelompok usaha mapan, sementara masyarakat hanya menjadi penonton dari program yang sejatinya dibuat untuk mereka.
KKN yang Berulang
Praktik semacam ini bukan hal baru dalam birokrasi Indonesia. Polanya berulang dari masa ke masa, hanya berubah nama dan bentuk. Selama pucuk pimpinan lembaga serta lingkaran terdekatnya menjadikan proyek sebagai sumber “tambahan” pendapatan, maka korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) akan terus menemukan ruang hidupnya.
Sistem pengadaan yang seharusnya menjadi alat pemerataan justru berubah menjadi mesin pembagi keuntungan politik dan ekonomi. Reformasi birokrasi yang digembar-gemborkan hanya akan menjadi slogan kosong bila mentalitas pengelola anggaran tetap berorientasi pada keuntungan pribadi.
Tanggung Jawab Moral BGN
Sebagai lembaga baru dengan mandat strategis, BGN memiliki tanggung jawab moral untuk membuktikan bahwa mereka berbeda dari pola lama birokrasi. Transparansi pengadaan, keterlibatan masyarakat, dan audit publik harus menjadi prioritas utama.
Publik berharap BGN mampu menunjukkan bahwa uang negara yang dikelolanya benar-benar kembali untuk rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir pihak. Jika tidak, maka BGN hanya akan menambah daftar panjang lembaga yang gagal menjaga integritas di tengah kesempatan besar memperbaiki bangsa.
1. Klaim Resmi BGN
Total dapur sehat dibangun: 10.681 unit
Sumber dana: APBN & kemitraan publik-swasta (non-APBN)
Tujuan: Pemberdayaan ekonomi lokal dan peningkatan gizi masyarakat.
Sasaran: Kelompok masyarakat, UMKM pangan, dan koperasi daerah.
2. Realitas di Lapangan (hasil penelusuran dan sumber internal)
| Aspek | Klaim | Fakta yang Ditemukan |
|---|---|---|
| Pelibatan kontraktor lokal | 70–80% proyek melibatkan pelaku daerah | Hanya sekitar 10–15% benar-benar dikerjakan kontraktor daerah; sisanya disubkontrakkan ke perusahaan besar nasional |
| Transparansi tender | Sistem lelang terbuka dan akuntabel | Banyak tender hanya formalitas, pemenang sudah dikondisikan sejak awal |
| Pemerataan ekonomi daerah | Memberdayakan masyarakat setempat | Nilai ekonomi terbesar justru kembali ke BUMN dan grup konglomerasi besar |
| Verifikasi proyek | Dilakukan profesional dan independen | Proses verifikasi disebut sarat kepentingan dan “pengondisian administratif” |
| Manfaat langsung ke masyarakat | Peningkatan gizi dan pendapatan lokal | Banyak dapur sehat tak berfungsi optimal; beberapa bahkan mangkrak atau tidak dilengkapi peralatan sesuai standar |
3. Dampak Ekonomi
Potensi ekonomi lokal yang hilang: hingga Rp 2,5–3 triliun per tahun karena proyek besar terserap oleh perusahaan nasional, bukan daerah.
Lapangan kerja lokal berkurang sekitar 60% dari proyeksi awal.
Sirkulasi uang di daerah menurun, karena dana proyek kembali ke Jakarta dan grup nasional.
4. Analisis Pengamat
“Ini pola klasik proyek publik: klaimnya untuk rakyat, tapi sistemnya mengalir ke elit. Selama BGN dan lembaga sejenis masih dikelola dengan pola ‘tambahan di atas kertas’, maka hasilnya hanya membesarkan kelompok tertentu,” ujar seorang analis kebijakan publik yang enggan disebut namanya.





