JAKARTA — Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan komitmen pemerintah untuk mempercepat hilirisasi sektor pertanian setelah mendapat arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Melalui program besar-besaran yang melibatkan pemerintah, BUMN, dan sektor swasta, Kementerian Pertanian menargetkan terciptanya 1,6 juta lapangan kerja baru dalam dua tahun ke depan.
Menurut Amran, target tersebut akan dicapai melalui percepatan program hilirisasi komoditas unggulan seperti kelapa dalam, kakao, mete, kopi, dan lada, yang selama ini sebagian besar masih dijual dalam bentuk bahan mentah. Pemerintah bertekad agar proses pengolahan hingga produk turunan bernilai tambah bisa dilakukan di dalam negeri.
“Arahan Bapak Presiden jelas: petani tidak boleh berhenti di produksi. Nilai tambah harus dihasilkan di dalam negeri. Kita dorong hilirisasi untuk menciptakan jutaan lapangan kerja baru,” kata Amran usai pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/10).
Kementan menyiapkan langkah konkret berupa penyediaan bibit dan benih gratis untuk 800 ribu hektare lahan pertanian di berbagai daerah. Program ini akan melibatkan pemerintah daerah, BUMN, dan pembiayaan dari skema Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Selain memanfaatkan anggaran kementerian, pemerintah juga membuka peluang investasi swasta untuk membangun pabrik pengolahan dan fasilitas rantai dingin (cold chain) guna menjaga kualitas produk pascapanen.
Target Ambisius, Tantangan Tak Kecil
Meski berpotensi besar, target penyerapan 1,6 juta tenaga kerja dalam dua tahun dinilai sangat ambisius. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pada triwulan II tahun 2025 saja, total serapan tenaga kerja dari seluruh sektor investasi nasional baru mencapai sekitar 665 ribu orang. Artinya, program hilirisasi pertanian harus mampu menyalip lebih dari dua kali lipat serapan tenaga kerja tahunan dari seluruh sektor ekonomi yang ada.
Dari catatan historis, proyek hilirisasi di sektor lain hanya mampu menyerap tenaga kerja dalam skala ribuan hingga puluhan ribu per proyek. Misalnya, proyek hilirisasi biofuel nasional pada 2024 melibatkan sekitar 7.800 pekerja langsung, sementara pengembangan industri turunan aluminium oleh Inalum menyerap sekitar 100 ribu pekerja secara akumulatif di berbagai daerah.
Jika dibandingkan, target 1,6 juta tenaga kerja berarti membutuhkan puluhan proyek pengolahan besar di berbagai provinsi dengan investasi fisik dan infrastruktur yang luas.
“Untuk bisa menyerap 1,6 juta tenaga kerja, dibutuhkan investasi besar dan jaringan industri pengolahan yang tersebar. Hilirisasi bukan hanya soal pabrik, tapi soal rantai pasok dan kesiapan SDM petani,” ujar pengamat ekonomi pertanian dari IPB, Dwi Rachmat, saat dimintai tanggapan.
Faktor Penentu Keberhasilan
Beberapa faktor kunci diyakini menentukan keberhasilan program ini:
| Aspek | Penjelasan |
|---|---|
| Investasi dan pendanaan | Harus ada sinergi efektif antara pemerintah, BUMN, dan swasta untuk membangun pabrik pengolahan dan rantai logistik. |
| Pelatihan tenaga kerja | Petani dan pekerja lokal perlu pelatihan agar mampu mengoperasikan peralatan modern dan memenuhi standar mutu ekspor. |
| Infrastruktur pendukung | Jalan produksi, akses listrik, air, dan cold storage perlu tersedia hingga ke sentra-sentra produksi. |
| Regulasi dan insentif | Pemerintah perlu memberi kemudahan perizinan dan insentif fiskal agar investor mau terjun ke daerah. |
| Risiko iklim dan hama | Ketahanan pangan dan kontinuitas bahan baku perlu dijaga agar rantai pasok tidak terganggu. |
Amran mengakui bahwa tantangan tersebut nyata, namun ia optimistis target itu bisa dicapai bila seluruh pihak bergerak dalam satu komando.
“Kita sudah jalankan pilot project di beberapa daerah dan hasilnya menjanjikan. Kalau hilirisasi kelapa dan kopi berjalan serentak, serapan tenaga kerja akan masif,” ujar Amran.
Belajar dari Hilirisasi Sebelumnya
Secara historis, berbagai program hilirisasi di Indonesia memang terbukti meningkatkan nilai tambah produk, namun belum signifikan dalam serapan tenaga kerja secara langsung.
Contohnya, hilirisasi kelapa sawit menghasilkan tambahan devisa besar dari produk turunannya seperti biodiesel dan oleokimia, namun sebagian besar penyerapan kerja masih terkonsentrasi di lini logistik dan distribusi, bukan di pengolahan primer.
Di sektor hortikultura, sejumlah daerah seperti Sulawesi Tenggara dan Sumatera Barat berhasil menumbuhkan industri olahan mete dan kopi skala lokal, tetapi penyerapan kerja masih berkisar 1.000–5.000 orang per wilayah. Hal ini menunjukkan potensi besar sekaligus keterbatasan nyata yang harus diatasi melalui kebijakan terpadu.
Arah Kebijakan Prabowo
Pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto tampaknya hendak mengembalikan fokus sektor pertanian sebagai basis industri nasional. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo menegaskan hilirisasi bukan sekadar program ekonomi, melainkan strategi pemerataan kesejahteraan rakyat desa.
“Kalau kita hanya jual bahan mentah, petani tidak akan kaya. Hilirisasi harus berarti nilai tambah di desa, pekerjaan di desa, dan kemakmuran di desa,” ujar Prabowo dalam rapat kabinet pekan lalu.
Kementan kini tengah menyiapkan peta jalan investasi hingga 2027 untuk memetakan daerah potensial, kebutuhan infrastruktur, serta proyeksi industri pengolahan berbasis komoditas. Rencana tersebut akan dikawal bersama Kementerian Investasi dan Kementerian Perindustrian.
Kesimpulan
Target hilirisasi pertanian untuk menciptakan 1,6 juta lapangan kerja menjadi ambisi besar di awal pemerintahan Prabowo. Namun untuk mewujudkannya, pemerintah harus memastikan eksekusi berjalan di lapangan, bukan sekadar retorika kebijakan.
Dengan dukungan investasi riil, pelatihan tenaga kerja, serta pembangunan infrastruktur di sentra-sentra pertanian, program ini berpotensi menjadi tonggak baru transformasi ekonomi berbasis desa.
Sebaliknya, tanpa pengawasan ketat dan kolaborasi antarlembaga, target tersebut bisa berakhir hanya sebagai angka optimistis di atas kertas.





