Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Apakah KPK Hendak Berkhianat kepada UUD 1945 dan Rakyat Indonesia ? Kasus Bobby dan Yaqut Bisa Jadi Bukti

Jakarta, Oktober 2025 — Kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dipertanyakan setelah dua kasus besar yang menyeret nama pejabat politik menunjukkan adanya praktik hukum...
HomeHukumUU Pajak Pesangon Digugat ke MK: Sah Secara Hukum, Tapi Dipersoalkan Keadilannya

UU Pajak Pesangon Digugat ke MK: Sah Secara Hukum, Tapi Dipersoalkan Keadilannya

Jakarta — Gugatan dua warga negara terhadap aturan pajak pesangon ke Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuka perdebatan klasik antara hukum positif dan rasa keadilan sosial. Meski pemerintah berpegang pada dasar hukum yang kuat dalam memungut pajak atas pesangon dan uang pensiun, sejumlah pihak menilai kebijakan itu bertentangan dengan semangat perlindungan sosial yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Kasus ini bermula ketika dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang telah diperbarui lewat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Mereka mempermasalahkan ketentuan yang menjadikan pesangon, uang pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai objek pajak dengan tarif progresif.

Dalam berkas permohonan yang diajukan ke MK, para pemohon menilai ketentuan tersebut tidak memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum, karena memajaki uang kompensasi yang seharusnya menjadi bentuk perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini telah digelar di Gedung MK beberapa waktu lalu.

Pemerintah Punya Dasar Hukum Kuat

Dari sisi hukum positif, kebijakan yang dipersoalkan ini memiliki landasan hukum yang sah dan jelas.
Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun 2008 jo. UU No. 7 Tahun 2021) menyebutkan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik dari dalam maupun luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan, merupakan objek pajak.

Dengan norma tersebut, pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis karena diterima dalam bentuk uang dan berpotensi menambah kekayaan penerimanya. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hanya menjalankan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Selain itu, pemerintah juga telah memberlakukan perlakuan khusus terhadap pajak pesangon melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 16/PMK.03/2010, yang menetapkan tarif pajak final lebih rendah dibandingkan tarif pajak penghasilan biasa.
Dalam ketentuan itu, pesangon di bawah Rp50 juta tidak dikenai pajak (tarif 0%), sedangkan pesangon di atasnya dikenai tarif berjenjang mulai dari 5% hingga 25%, tergantung pada besarannya.

Secara normatif dan administratif, langkah pemerintah tersebut tidak bisa dikatakan salah. Dirjen Pajak dan Kementerian Keuangan hanya menjalankan mandat undang-undang, sesuai amanat Pasal 23A UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Pertentangan di Ranah Keadilan Sosial

Namun, di luar sisi legalitas formal, muncul persoalan keadilan substantif yang menjadi inti gugatan para pemohon. Mereka berpendapat, pesangon bukan tambahan kemampuan ekonomis, melainkan kompensasi atas kehilangan pekerjaan.

Pengenaan pajak atas pesangon dianggap tidak sejalan dengan prinsip “ability to pay” atau kemampuan membayar pajak. Dalam situasi pekerja yang baru saja di-PHK, penerimaan pesangon justru menjadi penopang terakhir untuk bertahan hidup, bukan bentuk kemakmuran baru yang layak dikenai pajak progresif.

Dari sisi konstitusi, para pemohon menilai beberapa pasal UUD 1945 telah dilanggar, di antaranya:

  • Pasal 28D ayat (1), yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara;

  • Pasal 27 ayat (2), yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak;

  • Pasal 28H ayat (3), yang menjamin hak atas jaminan sosial.

Menurut pandangan mereka, ketika pemerintah mengenakan pajak atas uang pesangon dan pensiun, negara justru mengurangi fungsi sosial dari dana tersebut. Pesangon yang seharusnya menjadi “jaring pengaman sosial” berubah menjadi sumber penerimaan negara.

Antara Hukum Positif dan Rasa Keadilan

Dari sisi hukum tata negara, inilah yang disebut sebagai benturan antara legal justice dan social justice — antara keabsahan undang-undang dan rasa keadilan substantif.

Pemerintah berpegang pada hukum positif: semua tambahan kemampuan ekonomis kena pajak. Tapi masyarakat menilai, keadilan bukan hanya soal kesamaan aturan, melainkan kesesuaian dengan kondisi sosial-ekonomi penerima pajak.

Secara teori, pajak memang bertujuan untuk gotong royong nasional, di mana semua warga negara menyumbang sesuai kemampuan ekonominya. Namun ketika aturan yang sama diterapkan pada orang yang baru saja kehilangan pekerjaan, prinsip keadilan itu menjadi dipertanyakan.

“Pajak atas pesangon dapat dianggap tidak proporsional, karena negara memungut dari mereka yang justru sedang dalam masa rentan,” kata seorang ahli hukum pajak yang enggan disebutkan namanya.

Apakah UU Ini Bertentangan dengan UUD 1945?

Secara formal, UU PPh tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena sesuai dengan Pasal 23A UUD yang memberi kewenangan kepada negara untuk memungut pajak melalui undang-undang. Namun, secara substansial, pasal-pasal dalam UU itu bisa dianggap bertentangan dengan semangat keadilan sosial dan perlindungan warga negara.

Mahkamah Konstitusi akan menilai apakah norma dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh tersebut melanggar hak konstitusional warga negara. MK tidak selalu membatalkan pasal secara total; dalam banyak kasus, MK sering mengeluarkan putusan bersyarat, misalnya menyatakan suatu pasal “konstitusional sepanjang tidak diterapkan terhadap” kelompok tertentu.

Dalam konteks ini, putusan paling mungkin adalah MK menyatakan pasal-pasal UU PPh konstitusional bersyarat, yakni tetap berlaku kecuali untuk pesangon dan pensiun yang diterima akibat PHK. Dengan begitu, sistem perpajakan tetap berjalan, tetapi tidak menimbulkan beban sosial bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan.

Kesimpulan: Sah Secara Hukum, Tapi Belum Adil Secara Sosial

Dari analisis hukum, kebijakan pajak pesangon memang sah secara normatif karena berlandaskan undang-undang yang sah dan memenuhi prosedur konstitusional. Namun dari sisi keadilan sosial, para penuntut memiliki argumen konstitusional yang kuat.

Keadilan hukum tidak selalu sama dengan keadilan sosial. Pemerintah telah menjalankan aturan dengan benar, tetapi desain kebijakannya belum sensitif terhadap kondisi sosial pekerja yang di-PHK.
Dengan kata lain, UU-nya sah, tapi rasa keadilannya bisa dipertanyakan.

Jika MK kelak mengabulkan gugatan ini, bukan berarti pemerintah bersalah, melainkan menjadi sinyal bahwa sistem perpajakan perlu disempurnakan — agar pajak tidak hanya taat hukum, tetapi juga adil dan manusiawi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here