Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Mendagri Tegur Gubernur Protes Pemotongan TKD: Kebocoran, Sejumlah Kepala Daerah Justru Kena OTT

Jakarta | Oktober 2025 — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegur sejumlah kepala daerah yang memprotes kebijakan pemerintah pusat terkait pemangkasan Transfer ke Daerah...
HomeHukumSewa Terminal BBM Milik Riza Chalid: Dugaan Korupsi Rp2,9 Triliun dan Celah...

Sewa Terminal BBM Milik Riza Chalid: Dugaan Korupsi Rp2,9 Triliun dan Celah Tata Kelola Pertamina

Jakarta, Oktober 2025 — Kasus dugaan korupsi penyewaan Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) milik pengusaha Mohammad Riza Chalid kembali menjadi sorotan publik. Berdasarkan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, PT Pertamina (Persero) dan anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, diduga melakukan penyewaan fasilitas yang tidak memiliki urgensi operasional, namun mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp2,9 triliun.

Fakta Kasus: Terminal yang “Tidak Diperlukan”

Dalam periode 2012 hingga 2014, Pertamina dan Patra Niaga menyetujui penyewaan Terminal BBM Merak yang dimiliki oleh PT Orbit Terminal Merak (OTM), perusahaan yang dikendalikan Riza Chalid. Padahal, menurut hasil penyelidikan kejaksaan, terminal tersebut tidak dibutuhkan dalam sistem distribusi BBM nasional.

Meski begitu, Pertamina tetap membayar biaya sewa dan throughput fee kepada PT OTM, disertai pekerjaan tambahan yang seharusnya tidak dilakukan. Pembayaran berlangsung dalam jangka panjang, menciptakan beban keuangan yang menurut jaksa “tidak semestinya dibebankan kepada negara”.

Kerugian negara yang dihitung oleh auditor internal dan tim penyidik Kejaksaan Agung mencapai Rp2,905 triliun, meliputi sewa, throughput fee, serta proyek tambahan yang tidak relevan dengan kebutuhan distribusi BBM.

Klausul Hilang, Kerugian Muncul

Salah satu temuan paling krusial dalam dakwaan adalah adanya penghilangan klausul penting dalam kontrak antara Pertamina Patra Niaga dan PT Orbit Terminal Merak. Dalam rancangan awal kontrak, disebutkan bahwa setelah 10 tahun masa sewa, fasilitas terminal seharusnya menjadi milik Pertamina. Namun, dalam dokumen kontrak final, klausul itu dihapus.

Penghilangan klausul tersebut diduga dilakukan secara sengaja dan tanpa persetujuan dewan direksi penuh, sehingga menguntungkan pihak pemilik terminal dan merugikan perusahaan negara.

Dugaan pelanggaran kontrak inilah yang kemudian memperkuat tuduhan adanya penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum di tubuh Pertamina.

Daftar Nama yang Dituduh Terlibat

Selain Riza Chalid yang kini berstatus buron dan diduga berada di luar negeri, kejaksaan juga menetapkan sejumlah pejabat aktif dan mantan pejabat Pertamina sebagai tersangka. Nama-nama tersebut antara lain:

  • Alfian Nasution, VP Supply & Distribution Kantor Pusat Pertamina.

  • Hanung Budya Yuktyanta, Direktur Pemasaran & Niaga Pertamina tahun 2014.

  • Toto Nugroho, VP Integrated Supply Chain / VP Crude & Product.

  • Arief Sukmara, Direktur Gas & Petrochemical Pertamina International Shipping.

  • Hasto Wibowo, mantan SVP Integrated Supply Chain.

  • Martin Haendra Nata, Business Development Manager PT Travigura.

  • Indra Putra Harsono, Business Development Manager Mahameru Kencana Abadi.

Dalam kasus yang lebih luas, dakwaan juga menyebut nama-nama pejabat lain seperti Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, Maya Kusmaya, dan Edward Corne, yang terlibat dalam pengaturan impor dan penjualan produk BBM di bawah harga pasar.

Bagian dari Skema Korupsi BBM Lebih Luas

Kejaksaan Agung menyebut kasus ini tidak berdiri sendiri. Penyewaan terminal BBM milik Riza Chalid adalah bagian dari skema korupsi tata kelola minyak dan BBM yang lebih besar.
Modus operandi yang terungkap meliputi:

  • Pengaturan impor BBM dan produk kilang dengan membocorkan informasi tender kepada pihak tertentu.

  • Penjualan solar nonsubsidi di bawah harga pokok penjualan (HPP) untuk keuntungan kelompok tertentu.

  • Sewa terminal BBM sebagai bagian dari jalur penyimpangan rantai pasok.

  • Kompensasi pengapalan dan distribusi BBM yang dibengkakkan nilainya.

Secara keseluruhan, dugaan kerugian negara dari seluruh skema korupsi sektor migas ini mencapai Rp285 triliun — menjadikannya salah satu kasus kerugian negara terbesar dalam sejarah sektor energi Indonesia.

Analisis Hukum: Unsur Korupsi dan Pertanggungjawaban

Secara hukum pidana, inti persoalan terletak pada dua hal: niat jahat (mens rea) dan perbuatan melawan hukum (actus reus).
Jika terbukti bahwa keputusan penyewaan diambil tanpa dasar operasional dan bertentangan dengan kepentingan negara, maka unsur tindak pidana korupsi terpenuhi.

Dalam dakwaan disebut bahwa pejabat Pertamina yang menandatangani kontrak mengetahui bahwa terminal tersebut “tidak dibutuhkan”, tetapi tetap melanjutkan perjanjian. Ini mengindikasikan adanya unsur kesengajaan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Selain itu, penghilangan klausul kepemilikan aset setelah masa sewa 10 tahun merupakan bentuk kelalaian administratif sekaligus perbuatan yang menyalahi mandat korporasi negara. Bila terbukti dilakukan dengan tujuan menguntungkan pihak tertentu, maka pasal-pasal korupsi dalam UU Tipikor dapat diterapkan.

Dimensi Tata Kelola BUMN: Kegagalan Sistemik

Kasus ini juga memperlihatkan kelemahan mendasar dalam tata kelola (governance) di tubuh Pertamina. Penetapan kebutuhan proyek, proses pengadaan, serta pengawasan internal tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kejaksaan menilai bahwa keputusan strategis seperti penyewaan terminal seharusnya melewati evaluasi menyeluruh oleh direksi dan dewan komisaris, termasuk analisis kebutuhan operasional, potensi duplikasi infrastruktur, dan kajian kelayakan ekonomi.

Namun, dalam kasus ini, keputusan penyewaan tampak diambil secara terburu-buru, dengan dasar permintaan pihak luar, bukan berdasarkan kebutuhan perusahaan.

“Ketika perusahaan negara mengambil keputusan bisnis yang tidak berbasis kebutuhan dan mengabaikan prinsip akuntabilitas, maka ruang penyimpangan selalu terbuka,” ujar salah satu pengamat BUMN yang dikutip tirto.id.

Dampak dan Risiko Bagi Negara

Kerugian finansial sebesar Rp2,9 triliun bukan hanya membebani laporan keuangan Pertamina, tetapi juga berdampak pada kepercayaan publik. Sebagai perusahaan negara yang mengelola energi nasional, setiap penyimpangan di Pertamina memiliki implikasi langsung terhadap subsidi, harga BBM, dan stabilitas fiskal negara.

Selain itu, kasus ini menjadi preseden buruk bagi tata kelola aset BUMN. Jika praktik seperti ini tidak dihentikan, negara berisiko terus menanggung biaya tidak efisien dari proyek atau aset yang sebenarnya tidak diperlukan.

Upaya Hukum dan Pemulihan Aset

Jaksa menegaskan bahwa Riza Chalid telah ditetapkan sebagai tersangka utama, dan proses penelusuran aset tengah dilakukan bekerja sama dengan PPATK dan Interpol. Pemerintah juga sedang memproses permintaan ekstradisi untuk memulangkan Riza dari Malaysia.

Sementara itu, pejabat Pertamina yang terlibat telah disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta sejak awal Oktober 2025. Sejumlah saksi, termasuk mantan direktur dan staf kontrak, mulai memberikan keterangan terkait proses penghilangan klausul dalam kontrak.

Kejaksaan membuka peluang untuk pemulihan aset melalui penyitaan fasilitas terminal, pengembalian pembayaran sewa, atau restitusi langsung ke kas negara.

Kesimpulan

Kasus sewa Terminal BBM Merak ini memperlihatkan bagaimana kombinasi antara penyalahgunaan kewenangan pejabat publik dan koneksi bisnis swasta dapat menciptakan kerugian besar bagi negara.
Jika terbukti bersalah, baik Riza Chalid maupun pejabat Pertamina yang menandatangani kontrak akan menghadapi hukuman berat di bawah UU Tipikor.

Namun di atas segalanya, perkara ini membuka refleksi tentang pentingnya reformasi tata kelola BUMN, transparansi kontrak publik, dan pengawasan independen agar kasus serupa tidak lagi menggerogoti keuangan negara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here