Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Johanis Tanak Tidak Pernah Tersangkut Pidana, Tapi Moral Etik Sangat Rendah

JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak dikenal sebagai pejabat yang tidak pernah tersandung kasus pidana sepanjang kariernya di Kejaksaan maupun...
HomeBusinessKCIC: Proyek Strategis yang Menjadi Cermin Pengkhianatan Cita-Cita dan Akal Sehat Ekonomi...

KCIC: Proyek Strategis yang Menjadi Cermin Pengkhianatan Cita-Cita dan Akal Sehat Ekonomi Nasional

Oleh Redaksi Kabar Indonesia Media

JAKARTA — Di atas rel baja yang melintas dari Halim ke Tegalluar, ambisi besar pemerintah membangun transportasi modern kini bergulir menjadi simbol paradoks pembangunan nasional. Proyek Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) yang dulu dijanjikan sebagai tonggak kemandirian teknologi dan efisiensi transportasi justru berubah menjadi beban fiskal dan pertanyaan serius tentang arah kebijakan ekonomi negara.

Janji Manis dan Realitas Pahit

Ketika proyek ini diumumkan pada 2015, pemerintah menyebut kereta cepat sebagai simbol kemajuan, konektivitas, dan transfer teknologi. Namun setelah satu dekade berjalan, biaya membengkak dari semula sekitar Rp75 triliun menjadi lebih dari Rp130 triliun, dan masih berpotensi meningkat.

Data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan, sebagian besar pembengkakan berasal dari perubahan desain, biaya pembebasan lahan, serta tambahan bunga pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB). Pemerintah, yang semula menyatakan proyek ini tanpa dana APBN, akhirnya tetap harus menggelontorkan penyertaan modal negara (PMN) untuk menutup defisit pembiayaan.

“Ini bukan sekadar proyek transportasi. Ini cermin dari betapa lemahnya perencanaan dan kalkulasi ekonomi kita,” ujar Dr. Taufik Rahardjo, ekonom infrastruktur Universitas Indonesia. “Setiap keputusan besar yang diambil tanpa mekanisme kontrol publik yang kuat akan menimbulkan risiko fiskal jangka panjang.”

Ketika Idealisme Terkalahkan Pragmatisme

Pada tahap awal, KCIC digadang-gadang akan memperkuat industri nasional melalui transfer teknologi dan peningkatan kapasitas BUMN konstruksi. Namun laporan evaluasi dari Lembaga Pengembangan Infrastruktur Indonesia (LPII) menunjukkan bahwa sebagian besar komponen utama, dari sistem rel hingga sinyal, tetap bergantung pada impor dari Tiongkok.

Keterlibatan BUMN seperti PT Wijaya Karya (WIKA) dan PT KAI lebih banyak di sisi administratif dan pembiayaan, bukan pada penguasaan teknologi inti. Alih-alih membangun kemandirian, proyek ini justru memperdalam ketergantungan struktural terhadap modal dan teknologi asing.

“Cita-cita kemandirian ekonomi yang sering kita dengungkan seolah dikorbankan demi prestise politik jangka pendek,” ujar Rizal Nasution, peneliti senior di Center for Economic Governance. “Kalau terus begini, proyek strategis nasional hanya akan menjadi etalase kebanggaan, bukan instrumen pembangunan berkelanjutan.”

Skema Utang dan Bayang-bayang Risiko

Skema pembiayaan KCIC disebut sebagai business-to-business, namun pada praktiknya beban finansial banyak bergeser ke negara. Pemerintah memberi jaminan terselubung terhadap sebagian pinjaman melalui mekanisme ekuitas BUMN, dan akhirnya mengucurkan dana talangan lewat PMN untuk menambal defisit.

Menurut catatan Kementerian Keuangan, pinjaman utama senilai US$4,5 miliar dari CDB memiliki tenor 40 tahun dengan bunga sekitar 3,4 persen per tahun. Jika dihitung secara kumulatif, total kewajiban pembayaran bunga bisa mencapai lebih dari Rp60 triliun, belum termasuk biaya operasi dan perawatan.

Di sisi lain, tingkat okupansi penumpang belum memenuhi target. Data KCIC menunjukkan, dalam sembilan bulan pertama operasi, okupansi rata-rata hanya sekitar 45 persen, jauh di bawah proyeksi bisnis yang disusun untuk kelayakan pinjaman.

“Dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan biaya bunga, proyek ini berpotensi menambah beban fiskal terselubung bagi pemerintah,” ujar Ekonom Faisal Basri dalam wawancara publik belum lama ini.

Dimensi Politik Ekonomi: Dari Nasionalisme ke Serakahnomic

Kritikus pembangunan menyebut fenomena KCIC sebagai bentuk serakahnomic — istilah yang menggambarkan dorongan pembangunan yang lebih menonjolkan gengsi dan kepentingan politik ketimbang rasionalitas ekonomi. Proyek dikebut, tenggat dipaksakan, dan prosedur pengawasan dilonggarkan atas nama percepatan.

Bagi sebagian analis, fenomena ini menunjukkan pergeseran nilai dari nation building menuju project chasing, di mana ukuran keberhasilan diukur dari kecepatan meresmikan proyek, bukan dari keberlanjutan atau manfaat jangka panjangnya.

“Pembangunan seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan efisiensi ekonomi, bukan pada pencitraan politik,” kata Mutiara Siregar, pengamat kebijakan publik dari Transparency Institute. “Jika proyek seperti KCIC dijadikan tolok ukur kesuksesan, kita kehilangan arah dalam menafsirkan arti pembangunan nasional.”

Cermin dari Pengkhianatan terhadap Akal Sehat Ekonomi

Dalam banyak diskursus ekonomi nasional, proyek KCIC kini menjadi contoh klasik dari kegagalan perencanaan makro. Beberapa lembaga riset independen menilai return on investment (ROI) proyek ini bisa memakan waktu lebih dari 70 tahun — masa yang tak mungkin dicapai dalam logika bisnis modern.

Selain itu, manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar lintasan kereta belum tampak signifikan. Pusat pertumbuhan baru yang dijanjikan di kawasan Tegalluar dan Walini masih dalam tahap wacana. Di lapangan, harga lahan melonjak tanpa diikuti peningkatan ekonomi lokal yang berarti.

“Proyek ini mencerminkan betapa mudahnya idealisme pembangunan dikalahkan oleh ambisi politik dan kepentingan bisnis jangka pendek,” tulis laporan Institute for Policy Reform (IPR). “Ketika rasionalitas ekonomi diabaikan, yang tersisa hanyalah beban panjang yang diwariskan kepada generasi berikutnya.”

Menatap Ulang Arah Pembangunan Nasional

Kini, pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang bersalah, tetapi bagaimana negara belajar dari kesalahan ini. Transparansi, audit menyeluruh, dan evaluasi manfaat harus dilakukan secara terbuka. Tanpa itu, proyek serupa di masa depan hanya akan mengulang pola yang sama — membangun dengan ambisi, tapi tanpa perhitungan matang.

KCIC seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa pembangunan besar bukan tentang kecepatan dan kemegahan, melainkan tentang keberlanjutan dan akuntabilitas. Jika tidak, proyek strategis semacam ini akan terus menjadi cermin pengkhianatan terhadap cita-cita dan akal sehat ekonomi nasional.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here